3 Alasan Hukum Pembuat Mural Bermuatan Kritik Tidak Dapat Dipidana
Utama

3 Alasan Hukum Pembuat Mural Bermuatan Kritik Tidak Dapat Dipidana

Penghapusan-kriminalisasi mural dinilai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi yang dijamin, dilindungi konstitusi, kovenan Sipol, UU HAM. LBH Jakarta meminta Presiden, Kapolri, Mendagri untuk menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat yang disampaikan masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kedua, Presiden bukan lambang atau simbol negara sebagaimana ditegaskan Pasal 36A UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 46 UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006 menyatakan Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan Presiden bertentangan dengan konstitusi, sehingga harus dibatalkan.

Ketiga, jika ada yang keberatan atau dinilai terdapat dugaan pelanggaran, sifatnya adalah keperdataan atau pelanggaran administratif. Dalam hal ini yang dapat mengajukan keberatan adalah pemilik dari medium tempat di mana mural dan grafiti berada serta semestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa kerugian keperdataan atau administrasi, bukan pendekatan pidana.

Untuk itu, LBH Jakarta menuntut 3 hal. Pertama, Presiden memerintahkan Kapolri untuk memastikan jajarannya sampai tingkat bawah menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat yang disampaikan masyarakat. Kedua, Kapolri memerintahkan jajarannya untuk menghormati kemerdekaan berekspresi masyarakat dan menghentikan segala bentuk represi terhadap ruang kemerdekaan berpendapat. Apalagi melalui ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuangkan kritiknya terhadap pemerintah melalui mural/grafiti.

Ketiga, mendesak Mendagri untuk memerintahkan kepala daerah agar memerintahkan satuan Polisi Pamong Praja untuk menghormati hak kemerdekaan berekspresi dan berpendapat. Serta menghentikan segala tindakan represif pelarangan dan penghapusan mural/grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah.

Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muchammad Ali Safa’at, mengatakan penyampaian kritik merupakan hal yang wajar dalam sebuah negara demokrasi. Kritik sebagai alat evaluasi kebijakan yang sudah dilakukan atau akan dilakukan pemerintah terutama saat menghadapi pandemi.

“Kritik tidak boleh dimaknai merongrong atau mengganggu pemerintahan. Kritik bagian inti demokrasi yang memberi pengakuan terhadap HAM terkait kebebasan berpendapat dan partisipasi masyarakat,” kata Ali dalam acara Hukumonline Academy XI bertajuk “Demokrasi di Tengah Pandemi”, Jumat (13/8/2021) kemarin. (Baca Juga: Revisi UU ITE Cara Menjaga Keberlangsungan Demokrasi)

Dia mengingatkan justru pemerintah wajib melindungi dan menghormati masyarakat yang menyampaikan kritik. Kritik tidak boleh direspon dengan tindakan represif, termasuk pada saat menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Ali melihat tindakan represif yang mungkin dialami pihak yang menyampaikan kritik, seperti dilaporkan dugaan tindak pidana, atau meretas akun media sosial yang bersangkutan.

Tags:

Berita Terkait