3 Catatan PBHI Terhadap Perppu Cipta Kerja
Terbaru

3 Catatan PBHI Terhadap Perppu Cipta Kerja

Alasan kegentingan memaksa menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tidak memenuhi Pasal 22 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 dan putusan MK No.138/PUU-VII/2009; proses dan substansi Perppu melanggar HAM; kesewenang-wenangan (despotisme) dalam proses legislasi dan pemakzulan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Penting bagi Ombudsman RI untuk memeriksa maladministrasi proses pembentukan Perppu No.2 Tahun 2022, serta Komnas HAM RI terkait pelanggaran HAM akibat cacat formil Perppu dan substansi yang mengebiri HAM,” usul Julius.

Ketiga, kesewenang-wenangan (despotisme) dalam proses legislasi dan pemakzulan. Julius menegaskan terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 menunjukkan pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi menjalankan pemerintahan semaunya sendiri, melanggar konstitusi, dan mengkhianati ideologi Pancasila. Hal yang sama terjadi pada rancangan KUHP yang diinisiasi Presiden Jokowi karena isinya anti-demokrasi, prosesnya tanpa partisipasi bermakna, sehingga melanggar banyak hak asasi manusia.

Julius berpendapat Presiden Jokowi telah melanggar mandat konstitusi dan HAM. Mekanisme “negara hukum dan demokrasi” tidak berjalan karena mengeliminasi peran dan kewenangan DPR-RI dalam proses pembentukan UU. Padahal substansi Perppu No.2 Tahun 2022 mencakup berbagai sektor, bukan hanya ekonomi, tapi juga hukum dan birokrasi, dengan jumlah pasal ribuan. Seharusnya, ada pelibatan seluruh komponen dan struktur negara, bukan hanya DPR RI, tapi juga MPR RI dan DPD RI.

Kebijakan yang diterbitkan Presiden Jokowi ini menurut Julius berpotensi membuka tabir pemakzulan sebagaimana bunyi Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 dan dipertegas Pasal 10 ayat (2) dan (3) UU No.24 Tahun 2003 tentang MK. Jika DPR-RI dalam kondisi setara tanpa subordinasi Presiden Jokowi, maka seharusnya DPR-RI, setidak-tidaknya 25 Anggota mengajukan Hak Menyatakan Pendapat untuk pemakzulan (Pasal 8 ayat (4) huruf c jo. Pasal 191 ayat (1) Peraturan DPR-RI No. 1/2019 tentang Tata Tertib).

Meski belum tentu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR-RI mengingat didominasi partai pendukung Presiden Jokowi, namun evaluasi di titik nadir kekuasaan eksekutif ini bagi Julius penting untuk menjadi peringatan dini hukum dan demokrasi serta HAM yang telah dilanggar oleh Presiden Jokowi, yang juga bermakna sebagai pelanggaran konstitusi dan pengkhianatan terhadap Pancasila.

Jika tidak ada 25 negarawan di DPR yang berani menjaga marwah Pancasila dan UUD, dan justru menjadi "bawahan" Presiden maka ini pertanda matinya hukum dan demokrasi sebagai mesin republik ini akibat pembangkangan eksekutif dan legislatif terhadap konstitusi. “Yang artinya juga masyarakat dapat membangkangi seluruh struktur kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif, di pusat maupun daerah (civil rights to disobey),” katanya.

Tags:

Berita Terkait