3 Indikasi Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia
Utama

3 Indikasi Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia

Meliputi pelemahan pers melalui konglomerasi media dan represi terhadap jurnalis; direnggutnya kebebasan digital yang merupakan bagian dari HAM; dan tergerusnya kebebasan akademik di kampus.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Tapi yang berkembang setelah reformasi Wijayanto menilai kalangan oligarki yang sudah terbentuk sejak masa orde baru semakin cepat mengorganisasi diri. “Mereka (oligarki) semakin kuat dan terkonsolidasi untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri, dan masyarakat sipil semakin lemah,” lanjutnya.

Menurutnya, sedikitnya ada 3 indikasi yang menunjukkan terjadinya penyempitan ruang kebebasan sipil di Indonesia. Pertama, pers mengalami pelemahan karena konglomerasi media, budaya jurnalisme warisan masa lalu yang tidak berkualitas dan represi terhadap jurnalis. Kedua, kebebasan secara daring dan digital semakin dibatasi, padahal itu adalah bagian dari HAM. Ketiga, kebebasan akademik di kampus semakin buruk, misalnya pada saat ramai penolakan revisi UU KPK, rektor menginstruksikan mahasiswa dan dosen untuk tidak melakukan demonstrasi.

Dosen di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Samsul Maarif, menegaskan masyarakat sipil merupakan salah satu pilar demokrasi. Masyarakat sipil punya peran penting untuk menghadapi menyempitnya kebebasan sipil. “Masyarakat sipil perlu membangun jaringan secara lintas sektoral,” sarannya.

Pola otoritarianisme

Ketua YLBHI, Asfinawati, melihat berbagai hal yang menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia, antara lain pembajakan konsep HAM dalam hate speech yang tadinya instrumen pelindung korban menjadi alat kriminalisasi. Pemerintahan Jokowi membuat demonstrasi kembali menjadi hal yang terlarang. Penghalang-halangan terhadap bantuan hukum, tercatat periode 2015-2021 ada 23 orang yang ditangkap dan dikriminalisasi karena melakukan bantuan hukum.

Asfin juga mencatat ada pelanggaran kebebasan berpendapat di kampus seperti ada 3 kampus yang dihubungi BIN terkait diskusi yang diselenggarakan mahasiswa di kampus. Ada juga peretasan terhadap akademisi di tahun 2019, peretasan media sosial lembaga mahasiswa, aktivis mahasiswa tahun 2020, dan peretasan telepon genggam aktivis pada tahun 2021.

Mantan direktur LBH Jakarta itu juga mencatat pemerintah membeli teknologi dari Israel yang dapat mendeteksi lokasi melalui nomor ponsel. Ada 8 FinFisher di 3 internet service provider di Indonesia.

Selain itu Asfin mengatakan sedikitnya ada 3 pola kebijakan otoritarianisme. Pertama, menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, dan berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu konstitusi, TAP MPR, atau UU. Ketiga, memiliki watak yang represif, mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.

“Kami melihat ada gelagat kembali ke otoritarianisme di Indonesia sejak tahun 2015,” katanya.

Tags:

Berita Terkait