3 Prinsip Penting untuk Lembaga Pengelola Aset Hasil Rampasan Negara
RUU Perampasan Aset:

3 Prinsip Penting untuk Lembaga Pengelola Aset Hasil Rampasan Negara

Kompetensi dalam mengelola, perlu adanya pemisahaan antara lembaga yang menangani perkara dengan pengelola aset tindak pidana hasil rampasan negara, dan transparansi. Kejaksaan mengklaim lebih siap mengelola dan telah memiliki berbagai instrumen pengelolaan aset tindak pidana hasil rampasan negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana terus didorong untuk masuk daftar Prolegnas Prioritas. Salah satu poin penting dalam draf RUU Perampasan Aset terkait pihak yang berwenang mengelola rampasan aset. Selama ini masing-masing penegak hukum memiliki cara dalam mengelola barang sitaan hasil tindak pidana. Lantas siapa pihak yang bakal diberikan kewenangan mengelola rampasan aset negara?

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkompolhukam) Mohammad Mahfud MD mengatakan substansi dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, seperti kewenangan, hukum acara pembuktian, badan pengelola aset, hingga kerja sama internasional. Khusus badan pengelolaan aset masih terdapat perdebatan di tingkat internal pemerintah. “Ada beberapa masalah yang belum disepakati. Kalau di pemerintah, kalau perampasan aset yang mengelola aset itu siapa?” ujar Mahfud dalam sambutannya di sebuah webinar pekan lalu.

Menurutnya, sejumlah institusi memiliki kompetensi dan fasilitas dalam mengelola rampasan aset hasil tindak pidana. Seperti di Kementerian Keuangan terdapat Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Negara. Begitupula di Kejaksaan Agung terdapat Pusat Pemulihan Aset (PPA), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan Direktorat Pelayanan Tahanan dan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara melalui Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). “Ini masalah teknis (pilihan, red) saja,” kata dia.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengatakan eksekusi terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN). Menurutnya, dalam hal putusan menyatakan aset dirampas untuk negara, pelaksanaan putusan dilakukan dengan menyerahkan aset yang dirampas kepada lembaga yang berwenang mengelola aset tindak pidana.

Penyerahan aset dilakukan paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diterima. Dimulai pembuatan berita acara penyerahan yang ditandatangani oleh JPN yang menyerahkan, lembaga pengelola, dan 2 saksi. Masalahnya belum ada kesepakatan di internal pemerintah perihal siapa institusi yang berwenang mengelola rampasan aset negara. Bahkan mungkin terdapat opsi membentuk lembaga baru yang mengelola khusus rampasan aset negara, tapi ini akan membutuhkan anggaran baru.

Sejauh ini, terdapat tiga institusi yang berminat mengelola aset hasil rampasan negara yakni Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, Kemenkumham. Namun belum terdapat titik temu perihal siapa yang bakal diberikan kewenangan mengelola aset tindak pidana hasil rampasan negara tersebut. (Baca Juga: Berharap RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Masuk Prolegnas Prioritas)

Dosen hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu menilai terdapat tiga pertanyaan yang perlu didalami dalam mengelola aset tindak pidana hasil rampasan negara. Pertama, kompetensi dalam mengelola. Kedua, perlu adanya pemisahaan antara yang menangani perkara dengan pengelola aset tindak pidana hasil rampasan negara. Ketiga, transparansi. 

Merujuk praktik di Belanda, kata Yunus, negeri kincir angin itu menggunakan sistem online dalam pengelolaan aset tindak pidana hasil rampasan negara. Dengan begitu, masing-masing institusi dapat melihat aset yang disita, tahun penyitaan, dan dalam kasus apa aset disita. Setelah jelas statusnya, aset-aset tersebut dilelang.

“Kita negara banyak rugi karena kita tidak mampu mengelola aset hasil rampasan negara. Jadi ada barang-barang sitaan yang tidak bisa digunakan karena rusak. Padahal itu bisa untuk kegiatan ekonomi,” ujarnya.

Yunus mengingatkan terdapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mempercepat proses perampasan aset. “Kalau barang rampasan tidak bisa digunakan, rugi juga negara. Kalau ada RUU ini akan optimal dalam mengelola barang rampasan aset,” ujarnya.

Kejaksaan mampu

Asisten Khusus Jaksa Agung Narendra Jatna berpandangan pengelolaan aset keuangan di Belgia dilakukan Menteri Keuangan. Namun pihak yang memiliki kewenangan mengelola aset tindak pidana hasil rampasan yang memiliki legal standing yang berhak mewakili negara yakni Kejaksaan.

Negara-negara seperti Belanda, Korea, Amerika pengelolaan aset tindak pidana hasil rampasan dikelola oleh Kejaksaan. Namun memang format sumber daya manusia secara struktur dapat gabungan dari berbagai institusi. Seperti orang pajak dan Kemenkeu yang berkantor di Kejaksaan. “Tapi ini bukan mau-maunya Kejaksaan, karena yang mewakili negara dan punya legal standing ya Kejakasaan,” ujarnya.

Menurutnya, Kejaksaan telah mendapatkan lisensi di kancah internasional karena sudah terdapat pusat pengelolaan aset Internasional. “Jadi Insya Allah saya tetap optimis, kita lebih siap,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) itu menyebutkan dalam sebuah Peraturan Jaksa Agung (Perja) mengamanatkan pembentukan Kepala Seksi Barang Bukti di setiap Kejaksaan Negeri (Kejari). Saat ini, Kejaksaan sedang mengembangkan Gedung Barang Bukti, seperti mobil hasil sitaan yang penyimpanannya secara khusus.

Selain itu, PPA pada Kejaksaan Agung telah menggagas integrated asset recovery system atau sistem pemuliihan aset terpadu ke berbagai lembaga hukum. Apalagi Kejaksaan telah memiliki aplikasinya bernama Asset Recovery Secure Data System (ARSSYS). Menurutnya, dalam pengembangannya PPA bakal terkoneksi ke seluruh satuan tugas (Satgas) Kejaksaan. “Dan terkoneksi dengan lembaga dan kementerian terkait. Jadi lebih hemat dibandingkan dengan tawaran-tawaran lain. Bahkan lebih jauh, kita sudah punya teknologinya.”

Tapi, menurutnya, KUHP masih menerapkan rezim pembalasan hukuman karena definisi penyidikan dalam rangka menemukan tersangkanya (bukan asetnya, red). Sepanjang KUHP masih menggunakan filosofi tersebut, pengembalian aset bakal jauh dari harapan.

Tags:

Berita Terkait