5 Catatan BPJS Watch Terhadap Pelaksanaan JKN
Terbaru

5 Catatan BPJS Watch Terhadap Pelaksanaan JKN

Mulai dari meningkatnya jumlah peserta tidak aktif, persoalan pada segmen kepesertaan PBI, segmen PPU, penegakan hukum, dan pelayanan di fasilitas kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Salah satu kantor layanan BPJS Kesehatan. Foto: Dokumen Hukumonline
Salah satu kantor layanan BPJS Kesehatan. Foto: Dokumen Hukumonline

Sejak diluncurkan 1 Januari 2014, program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama yang menjadi peserta JKN. Program JKN membuka ruang besar bagi masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Namun, pelaksanaan JKN belum sempurna. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mencatat sedikitnya ada 5 persoalan dalam pelaksanaan program JKN.

Pertama, Timboel mencatat dalam beberapa tahun terakhir jumlah peserta JKN yang tidak aktif jumlahnya meningkat. Misalnya, jumlah peserta tidak aktif untuk segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) tahun 2019 sebesar 13.460.831 jiwa, tahun 2020 menjadi 15.819.921 jiwa, dan tahun 2021 sebesar 16.703.473 jiwa. Begitu juga segmen peserta pekerja penerima upah badan usaha (PPU BU) yakni 4.509.008 jiwa tahun 2019, tahun 2020 sebanyak 6.650.787 jiwa, dan tahun 2021 menjadi 8.736.002 jiwa.

Menurut Timboel, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisir peningkatan jumlah peserta JKN yang tidak aktif. Misalnya, pemerintah menerbitkan kebijakan untuk memberikan diskon bagi peserta JKN yang mau mengaktifkan kembali kepesertaannya dan peserta yang selama ini aktif membayar iuran. “Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah,” kata Timboel dalam diskusi bertema diseminasi publik “Studi JKN oleh BPJS Kesehatan: Tata Kelola, Efektivitas, dan Perbandingan dengan Kawasan ASEAN, Jum’at (05/11/2022) lalu.

Kedua, pembersihan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dilakukan kementerian sosial belum objektif. Pengaktifan dan penonaktifan peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBN dan APBD tidak dikomunikasikan kepada peserta. Akibatnya, peserta yang dinonaktifkan bingung ketika menyambangi fasilitas kesehatan karena mereka tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan yang dijamin program JKN. Selain itu, edukasi dan sosialisasi tentang JKN kepada masyarakat miskin (PBI) sangat minim, sehingga pemanfaatan atau utilisasinya rendah dibanding segmen kepesertaan lain.

Ketiga, untuk segmen peserta PPU BU, Timboel mencatat masih banyak pekerja sektor formal swasta atau badan usaha yang belum didaftarkan oleh pemberi kerja menjadi peserta JKN. Bahkan ada pekerja formal swasta malah didaftarkan menjadi peserta penerima PBI atau mandiri (PBPU). Sekalipun didaftarkan menjadi peserta, masih ada pemberi kerja yang melaporkan upah pekerja tidak sesuai dengan upah yang diterima pekerja.

Sistem elektronik data badan usaha (EDABU) yang digunakan perusahaan untuk mengelola kepesertaan JKN menurut Timboel memberi peluang untuk menonaktifkan pekerja/buruh yang berselisih dengan pemberi kerja. Mandat Pasal 21 ayat (1) junto Pasal 27 Perpres No.82 Tahun 2018 untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) beserta keluarganya berhak mendapat layanan JKN maksimal 6 bulan pada praktiknya sulit diperoleh pekerja.

Keempat, persoalan penegakan hukum. Timboel mengatakan sampai saat ini sanksi pidana terkait program JKN belum berjalan. Sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu juga belum optimal. Padahal perintah Presiden Joko Widodo kepada setiap kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah sangat jelas sebagaimana tertuang dalam Inpres No.1 Tahun 2022. Tapi kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah belum ada yang serius menjalankan perintah tersebut.

“Kalau Inpres No.1 Tahun 2022 itu dijalankan, akan membantu mengatasi persoalan yang dihadapi JKN selama ini. Tapi sayangnya kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah tidak mau menjalankannya,” beber Timboel.

Kelima, masih sering ditemukan persoalan terkait pelayanan di fasilitas kesehatan. Misalnya, ketika mengakses ruang perawatan NICU, PICU, dan ICU. Praktik out of pocket atau biaya tambahan yang dikeluarkan peserta kerap terjadi seperti membeli obat sendiri karena fasilitas kesehatan tidak menyediakan obat tersebut. Kemudian tidak sedikit peserta JKN yang dipulangkan pihak fasilitas Kesehatan, padahal kondisinya belum layak untuk pulang.

Tags:

Berita Terkait