7 Alasan Koalisi Desak Penundaan Pembahasan RUU Kesehatan
Utama

7 Alasan Koalisi Desak Penundaan Pembahasan RUU Kesehatan

Sepertihalnya pembahasan RUU Kesehatan tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna, hingga tidak menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan korupsi dan berbagai bentuk fraud.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kelima, sentralisasi tata kelola kesehatan oleh pemerintah pusat dapat mengurangi independensi pengetahuan di sektor kesehatan. Pada dokumen narasi RUU Kesehatan, Irma mencatat ada beberapa klaster yang memuat usulan perluasan kewenangan pemerintah pusat. Di antaranya memuat usulan perluasan kewenangan pemerintah dalam ranah profesi kesehatan. Pendidikan dan Pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan serta kolegium yang mengampu body of knowledge profesi kesehatan yang selama ini independen.

Menurutnya, dengan ditariknya semuanya di bawah wewenang pemerintah pusat berpotensi mengancam independensi pengembangan body of knowledge tersebut. Selain itu menjadikan tata kelola SDM kesehatan akan berada di bawah kekuasaan Kementerian Kesehatan mulai dari hulu hingga hilir.

“Absolutisme kekuasaan ini berpotensi terjadinya abuse of power terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan,” ujarnya.

Keenam, substansi RUU Kesehatan memuat berbagai kontradiksi yang berpotensi membuat RUU ini gagal mencapai tujuannya. Artinya, penyusunan dan pembahasan RUU secara tergesa-gesa dan serampangan hanya akan membuang-buang sumber daya negara yang sudah semakin terbatas.

Beberapa kontradiksi itu seperti perluasan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan sampai ke tingkat desa tapi alokasi anggaran minimal dari APBN/APBD untuk sektor kesehatan dihapus. Dominasi Menteri Kesehatan (Menkes), percepatan produksi dokter lokal tapi memberi kemudahan masuknya dokter asing. Serta peningkatan peran negara tapi melakukan perluasan terhadap peran swasta.

Ketujuh, RUU Kesehatan tidak menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan korupsi dan berbagai bentuk fraud. Korupsi dan segala bentuk fraud adalah persoalan besar dalam pelayanan kesehatan. ICW mencatat sepanjang 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kerugian negara sekitar Rp73,9 miliar.

Dianggap tidak layak

Ketua YLBHI Muhammad Isnur, menilai RUU Kesehatan sudah tidak layak sejak berbentuk naskah akademik. Naskah akademik RUU Kesehatan menggunakan metodologi penelitian dan mengutip sejumlah ahli yang teorinya sudah direvisi. Dia menilai, RUU Kesehatan menempatkan tenaga kesehatan sebagai alat produksi, sehingga menjadi komoditas yang jumlahnya harus diperbanyak secara cepat.

Tags:

Berita Terkait