8 Catatan Setara Institute terhadap SEMA Perkawinan Beda Agama
Terbaru

8 Catatan Setara Institute terhadap SEMA Perkawinan Beda Agama

SEMA 2/2023 dianggap tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan negara Pancasila. Pemerintah dan DPR perlu merevisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan . Foto: Akun IG Halili Hasan
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan . Foto: Akun IG Halili Hasan

Dikabulkannya permohonan pencatatan pernikahan beda agama oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta Selatan (Jaksel) beberapa waktu lalu menimbulkan pro dan kontra. Mahkamah Agung pun bereaksi dengan menerbitkan Surat Edaran (SEMA) No.2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Namun SEMA 2/2023 pun menimbulkan penolakan dari sebagian kalangan.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menyebut lembaganya mencatat sedikitnya 8 hal terkait SEMA 2/2023. Pertama, secara substantif SEMA 2/2023 tidak kompatibel dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila. Fakta objektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut.

Kedua, SEMA 2/2023 merupakan kemunduran dan menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam. Halili mencatat sebelumnya, beberapa Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.

“Seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN Yogyakarta,” kata Halili dikonfirmasi, Kamis (20/7/2023).

Baca juga:

Ketiga, SEMA tersebut menegaskan fakta memburuknya situasi demokrasi Indonesia, yang dalam 5 tahun terakhir mengalami defisit. Defisit bukan hanya menimpa cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tapi juga yudikatif. Halili menilai terbitnya SEMA ini terkait tekanan dari politisi yang menyambangi MA dan meminta pembatalan penetapan pernikahan beda agama di PN Jakarta Selatan.

Keempat, SEMA 2/2023 merupakan instrumen penyeragaman putusan pengadilan. Halili menegaskan SEMA seharusnya hanya bersifat internal dan mengenai administrasi peradilan. SEMA bukanlah instrumen untuk mengekang kebebasan hakim dalam melakukan pembuktian, memberikan penafsiran, dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya sesuai dengan bukti-bukti dalam due process of law yang digelar di persidangan pada masing-masing pengadilan.

Tags:

Berita Terkait