Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM
Terbaru

Ahli: UU Minerba Kriminalisasi Pembela HAM

Rumusan Pasal 162 UU Minerba dinilai menimbulkan ketidakadilan dalam tataran implementasi dikarenakan tidak mengikuti teori kriminalitas secara utuh dan tidak memasuki asas-asas hukum pidana secara utuh.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sentralisasi dalam hal penguasaan sumber daya mineral dan batu bara dinilai bertentangan dengan asas subsidiaritas yang menyebabkan kerugian konstitusional bagi masyarakat lokal. Asas subsidiaritas ini adalah asas yang menyatakan hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir.

Pandangan itu disampaikan oleh Dosen Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), I Gusti Agung Made Wardana dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian materiil UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan UU No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Gusti mengatakan melalui jaminan tidak diubahnya pemanfaatan ruang bagi wilayah usaha pertambangan yang telah ditetapkan berakibat tertutupnya ruang partisipasi masyarakat untuk terus memperjuangkan haknya atas ruang hidup yang baik dan sehat. Menurutnya, Pasal 162 UU Minerba telah menjadi instrumen pembungkaman pembela lingkungan hidup. Dalam hal ini masyarakat yang menolak untuk terus berjuang dan membela lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dilanggar oleh aktivitas usaha pertambangan.

“Pasal 162 UU Pertambangan ini dapat digunakan sebagai upaya untuk kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) yang terkena dampak pertambangan. Pasal tersebut juga dapat menjadi instrumen intimidasi hukum,” ujar Gusti dalam sidang perkara No.37/PUU-XIX/2021 ini digelar secara virtual, Rabu (19/1/2022) seperti dikutip laman MK. (Baca Juga: Pandangan Ahli Sola Pengujian Formil di Sidang Uji UU Minerba)

Ahli Pemohon lain, Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari menjelaskan Pasal 162 UU Minerba melarang setiap orang merintangi kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.

“Apabila kita bedah pasal ini, kita bisa menemui sebenarnya yang ingin dilarang oleh pembuat UU adalah merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertimbangan,” kata Anugerah Rizki Akbari dalam persidangan.  

Dia menilai Pasal 162 UU Minerba memberi konteks terhadap pemenuhan perbuatan yang ingin dilarang dimana pemikiran ini IUP atau IUPK harus memenuhi syarat dalam Pasal 86 F dan Pasal 136 ayat (2) UU Minerba yang kalau disederhanakan semua kepada proses penyelesaian hak atas tanah.

Pasal 136 UU No.4 Tahun 2009 menyebutkan (1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.

Menurutnya, dalam Pasal 162 UU Minerba banyak sekali catatan atas perumusannya. Misalnya, rumusan Pasal 162 UU Minerba mampu menimbulkan ketidakadilan dalam tataran implementasi dikarenakan tidak mengikuti teori kriminalitas secara utuh dan tidak memasuki asas-asas hukum pidana secara utuh.

Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh 4 Pemohon yang terdiri dari Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Pemohon I; Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim) sebagai Pemohon II; Nurul Aini sebagai Pemohon III; dan Yaman sebagai Pemohon IV yang merupakan seorang petani dan nelayan.

Para Pemohon menguji konstitusionalitas beberapa pasal dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja yakni Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17 ayat (2), Pasal 17A ayat (2), Pasal 21, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40 ayat (5) dan (7), Pasal 48 huruf a dan b, Pasal 67, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 93, Pasal 105, Pasal 113, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 140, Pasal 142, Pasal 151, Pasal 162 (juncto Pasal 39 UU Cipta Kerja), Pasal 169A ayat (1), Pasal 169B ayat (3), Pasal 169C huruf g, Pasal 172B ayat (2), Pasal 173B, Pasal 173C UU Minerba. Pasal-pasal tersebut dinilai multitafsir yang merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal tersebut.

Untuk diketahui, asas pernah termuat dalam bagian Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH). Asas ini mensyaratkan tiga hal yang harus terpenuhi sebelum hukum pidana diterapkan. Ketiga syarat itu adalah sanksi bidang hukum lain tidak efektif, tingkat kesalahan pelaku atau akibatnya relatif besar, dan menimbulkan keresahan masyarakat. 

Tags:

Berita Terkait