Ahli: Wewenang Seleksi Hakim Ad Hoc MA Open Legal Policy
Terbaru

Ahli: Wewenang Seleksi Hakim Ad Hoc MA Open Legal Policy

Kewenangan KY melakukan seleksi hakim ad hoc muncul dari ketentuan frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 dan frasa “seleksi hakim” dalam Pasal 25 UUD Tahun 1945 yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Kewenangan Komisi Yudisial (KY) melakukan seleksi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung (MA) tidak berasal dari perluasan frasa “Hakim Agung” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945, tapi muncul dari frasa “wewenang lain”. Pembentuk undang-undang bisa menentukan ruang lingkup wewenang lain tersebut selama kondisi norma yang dicapai adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim.

Pandangan itu disampaikan Benny K. Harman saat bertindak sebagai ahli yang dihadirkan oleh KY selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan  Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY terkait kewenangan KY mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR untuk mendapat persetujuan, di ruang sidang MK, Kamis (21/10/2021) kemarin.   

Benny K. Harman adalah Ketua Komisi III DPR RI pada periode 2009-2014 yang membidangi masalah hukum, HAM, dan keamanan. Ia terlibat langsung dalam proses pembentukan dan pembahasan UU KY. “Saya saat itu terlibat langsung secara intens dalam pembahasan UU KY baik dalam kapasitas saya sebagai Ketua Komisi III maupun sebagai Ahli dalam membuat dan merumuskan beberapa poin kesepakatan di fraksi, khususnya fraksi Partai Demokrat yang saya wakili,” kata Benny dalam sidang pleno, seperti dikutip laman MK.

Benny menegaskan kewenangan KY melakukan seleksi hakim ad hoc muncul dari ketentuan frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 dan frasa “seleksi hakim” dalam Pasal 25 UUD Tahun 1945 yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. “Ahli menganggap ini sebagai sebuah open legal policy,” ujar Benny. (Baca Juga: MK Diminta Tolak Pengujian Pasal Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA)

Lebih lanjut Benny memaparkan mengenai posisi KY dalam UUD Tahun 1945. Menurutnya, Panitia Pembentuk Perubahan UUD Tahun 1945 tidak menentukan hubungan hierarkis antara KY dengan MA.

“Jadi, KY walaupun dia ‘membantu’, tetapi kata ‘membantu’ tidak berarti hubungannya lebih rendah dari MA. Jadi, membantu dalam konteks untuk menegakan harkat, keluhuran, dan martabat hakim. Dengan demikian, perkataan organ, main organ, organ utama atau organ pembantu, auxiliary organ, sebetulnya tidak terkait dengan hubungan atas-bawah hubungan hierarkis antara MA dengan KY. Jadi, dua lembaga yang equal dengan fungsi yang berbeda-beda, yang diberikan konsitusi,” terang Benny.

Selain itu, kata Benny, pembentuk UU tidak bermaksud membedakan fungsi Hakim Agung dan fungsi Hakim Ad Hoc. Hakim Hakim Agung maupun hakim ad hoc mempunyai fungsi yang sama, mempunyai fungsi menentukan dalam memeriksa dan memutus perkara secara bersama-sama dan juga equal sebagai satu majelis.

“Jadi, Hakim Ad Hoc tidak ada perbedaan dengan Hakim Agung. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan hanya berkaitan dengan aspek-aspek yang ada kaitannya dengan urusan administrasi, masa jabatan, dan tentu kekhususan dari kasus yang diperiksa dan hendak diputus.”

Benny mengungkapkan saat pembahasan terjadi perdebatan tentang konsep hakim ad hoc di MA. Ada satu pandangan yang mengusulkan hakim ad hoc adalah ahli hakim atau mereka yang mempunyai keahlian khusus dan diminta memeriksa dan memutus kasus atau perkara jika ada kebutuhan keahlian yang mereka miliki. Status mereka tidak menetap di MA.

“Namun, pada saat dilakukan pembahasan, ada yang khawatir dengan ide ini. Jika sistem ini diakomodir, akan ada kelompok atau orang yang dititipkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu,” bebernya.

Pada akhirnya Hakim Ad Hoc di MA disepakati mereka yang menangani semua perkara tipikor (dan perkara hubungan industrial, red) yang masuk di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Jadi, usulan yang pertama tadi, tidak diakomodir, selanjutnya diakomodir usulan yang kedua.

“Jadi sekali lagi, saya ingin menegaskan perdebatan dan kesepakatan tersebut, perdebatan mengenai perlunya hakim ad hoc dan pada MA dan tidak. Pada saat itu sebetulnya juga tetap dalam kaitan bagaimana menjaga independensi lembaga peradilan, khususnya dalam penanganan perkara di MA.

Permohonan ini diajukan oleh Burhanudin, dosen yang pernah mengikuti seleksi hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) pada 2016. Dalam permohonannya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa “dan hakim ad hoc”.

Bagi pemohon, menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan hakim ad hoc bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD Tahun 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman.

Berlakunya Pasal 13 huruf a UU KY, secara expressis verbis telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tapi juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim agung dengan hakim ad hoc di MA yang memiliki perbedaan baik secara struktural, status, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan. Karena itu, pemohon meminta MK Pasal 13 huruf a UU KY harus bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait