Alasan Pemerintah Kurangi Kompensasi PHK
Utama

Alasan Pemerintah Kurangi Kompensasi PHK

Pemerintah ingin memperkuat Jaminan Sosial agar pembayaran kompensasi PHK dapat direalisasikan. Apindo menyebut kalangan usaha kecil dan mikro masih belum sepakat dengan sebagian ketentuan RPP PKWT-PHK, seperti Pasal 58 RPP PKWT-PHK terkait kompensasi PHK 50 persen dari besaran haknya.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

“Jika pesangon (kompensasi PHK, red) hanya mengandalkan perusahaan, maka ketika perusahaan tidak mampu, maka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu, dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (salah satu bagian dari program Jaminan Sosial) dapat di-cover kompensasi PHK-nya,” kata Agatha dalam Webinar Series ILUNI UI dan Hukumonline: “Telaah Substansi dan Implementasi UU Cipta Kerja-Sektor Ketenagakerjaan”, Selasa (2/2/2021). (Baca Juga: Mengintip Formulasi Kompensasi PHK dalam RPP-PHK)

Mengingat RPP ini belum terbit, Agatha menyarankan kepada para pihak yang ingin melakukan PHK untuk mengacu perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama (PKB). Jika berbagai peraturan yang berlaku di perusahaan itu tidak mengatur rinci mengenai kompensasi PHK, lebih baik diselesaikan melalui kesepakatan bersama.

Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan perubahan ketentuan PHK dalam UU Cipta Kerja merupakan pembenahan karena selama ini praktiknya hanya sedikit pengusaha yang mampu membayar kompendasi pesangon. Kompensasi pesangon dan jaminan sosial yang selama ini ditanggung pengusaha bebannya tergolong besar hampir 32 persen.

Kendati secara organisasi Apindo mendukung UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, serta berkomitmen mensukseskan implementasinya, Hariyadi, menyebut kalangan usaha kecil dan mikro masih belum sepakat dengan sebagian ketentuan RPP PKWT-PHK. Misalnya, Pasal 58 RPP PKWT-PHK menyebut pengusaha pada usaha mikro dan kecil (UMK) wajib membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan/atau uang pisah bagi buruh yang mengalami PHK paling sedikit 50 persen dari besaran hak sebagaimana dimaksud pasal 40-51 dan Pasal 53-56.

“Kalangan pengusaha UMK maunya ketentuan ini dibicarakan saja secara bipartit,” harapnya.

Tidak menggembirakan

Partner Kantor Hukum SSEK, Syahdan Aziz, mengatakan prinsip UU Cipta Kerja yakni mendorong semua pihak untuk mengupayakan agar tidak terjadi PHK karena konstitusi mengamanatkan semua orang berhak memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak. RPP ini juga mencegah tindakan PHK sepihak dengan cara pengusaha memberitahukan kepada buruh dan/atau serikat buruh di perusahaan tentang maksud dan alasan PHK.

Pemberitahuan PHK itu dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha paling lambat 14 hari sebelum PHK. Jika keberatan dengan PHK itu, buruh wajib membuat surat penolakan disertai alasannya paling lambat 7 hari setelah diterimanya surat pemberitahuan.

Menurut Syahdan, kompensasi PHK yang diatur UU Cipta Kerja dan RPP ini tidak menggembirakan bagi buruh karena ada elemen yang dipangkas yakni penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

“Jadi ada pengurangan (kompensasi PHK, red), kemudian juga faktor pengkalian untuk pesangon sesuai dengan alasan PHK, yang tadinya 2 kali ketentuan menjadi 1 kali, ada juga yang hanya mendapat setengah (0,5) ketentuan,” kata dia.

Hal baru yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan ditegaskan dalam RPP yakni program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kendati akan diatur dalam RPP terpisah, tapi secara umum JKP yang bisa diterima maksimal 6 bulan upah dan bentuknya beragam mulai dari uang tunai, akses ke pasar kerja, dan pelatihan.

Tags:

Berita Terkait