Aset Penjaminan SBSN Dan UU Kebendaan Negara
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Aset Penjaminan SBSN Dan UU Kebendaan Negara

ORI maupun SBSN merupakan instrumen investasi yang cukup menggiurkan, namun tetap harus diperhatikan resikonya.

Bacaan 2 Menit
Aset Penjaminan SBSN Dan UU Kebendaan Negara
Hukumonline

 

Apalagi ternyata SBSN dilepas dengan adanya aset penjamin (underlying asset) yang dapat dijual dan disewakan untuk mendukung SBSN tersebut. Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara  memperbolehkan hal tersebut, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 jo Pasal 10 sampai Pasal 12.

 

Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, yang dijual ataupun disewakan untuk mendukung SBSN tersebut adalah Hak Manfaat atas SBSN-nya. Lantas apa yang dimaksud dengan Hak Manfaat? Pasal 1 angka 16 UU SBSN menyebutkan Hak Manfaat adalah hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, bahkan situs bersejarah seperti Gelora Bung Karno dapat dijadikan aset penjamin bagi penerbitan SBSN.

 

Penulis menilai, UU SBSN dan UU SUN memiliki bom waktu tersendiri yang menunggu meledak. Mengingat UU SUN tidak mengatur masalah underlying asset, maka artikel ini akan lebih banyak membahas UU SBSN.

 

Walaupun menggunakan istilah jual-beli, namun istilah jual-beli tersebut dalam UU SBSN hanya merupakan istilah semu dan pemanis belaka, yang pemikirannya diambil dari jaminan fidusia namun tanpa terjadi permindahan hak kepemilikan.

 

Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyatakan: Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan.

 

Sekecil apapun resikonya, SBSN tetap memiliki resiko untuk gagal bayar. Misalnya, apabila suatu hari pemerintah mengalami defisit anggaran dan tidak memiliki cukup dana untuk membeli kembali aset jaminan dan karenanya gagal membayar nominal SBSN kepada pemegang SBSN.

 

Sekiranya pemerintah gagal bayar, kemudian pemegang SBSN membawa kasus tersebut kepada pengadilan, inipun beresiko. Pemegang SBSN hanya memperoleh putusan pengadilan yang tidak dapat dijalankan, kenapa? Karena pelaksanaan putusan hanya diserahkan kepada pemerintah tanpa adanya jaminan pelaksanaan, sebab tidak dapat dijatuhkan penyitaan terhadap aset pemerintah sebagaimana diatur oleh Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagaimana diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VI/2008 tanggal 28 Januari 2009.

 

Resiko Gagal Bayar

Walaupun sulit dibayangkan, pemerintah akan menolak membayar kembali para pemegang SBSN, mengingat perbuatan ini pasti akan menurunkan kepercayaan publik kepada SUN, sebab salah satu yang membuat banyak investor tertarik membeli SUN maupun SBSN adalah kepastian pembayaran kembali oleh negara. Karena itulah walaupun SUN tidak memiliki underlying asset, namun hal ini tidak mengurangi kepercayaan publik untuk membelinya. Apalagi UU SBSN sudah mengatur bahwa dana untuk membayar pemegang SBSN akan disisihkan dalam APBN setiap tahunnya sampai berakhirnya kewajiban pembayaran.

 

Sekali lagi, sekecil apapun, resiko gagal bayar dan penolakan pemerintah untuk melakukan pembayaran tetap ada. Apalagi sudah ada perkara di mana pemerintah pasang badan dan menolak pembayaran kewajibannya berdasarkan perintah pengadilan (Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 07/Pdt.G/PN.SBY tanggal 14 September 1999 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 112/B/PDT/2000/ PT.SBY tanggal 6 Juni 2000 jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3939 K/PDT/2001 tanggal 24 Januari 2003 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 161 PK/ PDT/2004 tanggal 31 Januari 2007).

 

Apa yang akan terjadi jika suatu hari pemerintah memutuskan untuk mengurangi atau tidak memasukan dana pembayaran SBSN ke dalam APBN sebagaimana diamanatkan Undang-Undang? Misalnya karena keuangan negara sedang kesulitan likuiditas. Peristiwa ini mungkin saja terjadi, karena sekali lagi presedennya sudah ada, bahkan perintah konstitusi untuk menyisihkan 20% anggaran di APBN bagi pendidikan saja sempat terjadi tarik ulur sebelum dipenuhi. Dengan demikian bagaimana jaminannya pemerintah akan menuruti UU SBSN?

 

Kendati masyarakat awam menggunakan istilah aset penjamin ataupun underlying asset, namun menurut penulis tidak ada satu pasalpun dalam UU SBSN yang mencantumkan istilah Aset SBSN merupakan jaminan kebendaan bagi pembayaran utang negara. Apalagi konsepnya diambil dari jaminan fidusia dengan modifikasi dan tidak dapat dilakukan penyitaan terhadap aset tersebut.

 

Karena pemegang SUN dan SBSN sama-sama tidak memiliki kepastian memperoleh pembayaran selain jaminan dari pemerintah yang belum tentu dilaksanakan, apa yang dapat mereka lakukan? Hal ini penting untuk dipikirkan agar tidak ada investor SUN maupun SBSN yang mengakhiri hidupnya karena uang investasi mereka tidak kembali, sebagaimana dilakukan seorang nasabah korban reksa dana fiktif Bank Century minggu lalu.

 

Menggugat, sebagaimana telah dijelaskan di atas mungkin saja tidak ada gunanya, karena pemerintah dapat saja pasang badan untuk tidak membayar. Berharap pada itikad baik pemerintah? Rasanya demi kepastian hukum dan keadilan bagi investor, itikad baik saja belum cukup. Menjual kembali ataupun membuat perjanjian anjak piutang tagihan terhadap SBSN, jelas tidak menyelesaikan masalah, setidaknya dalam jangka panjang. Kalau begitu apa yang harus dilakukan para pihak?

 

Menurut penulis, pengaturan bahwa aset negara tidak dapat disita tidak boleh diberlakukan secara kaku. Benar, aset-aset negara yang bernilai vital bagi kelangsungan negara dan bernilai sejarah seperti Gelora Bung Karno memang tidak boleh disita dengan alasan apapun, namun selama aset itu hanya memiliki nilai ekonomis semata, rasanya tidak ada alasan lain mengapa aset negara yang demikian tidak boleh disita.

 

Dapat diatur bahwa pengadilan dapat memberikan perintah kepada pemerintah untuk memasukan uang pembayaran di dalam APBN, atau menjual dan/atau melelang sendiri aset-aset yang dijaminkan tersebut. Sekiranya pemerintah tetap menolak melakukannya, maka pengadilan dapat melakukan penyitaan dan melelang aset-aset tersebut.

 

Ketentuan seperti ini dapat menjamin supremasi putusan pengadilan terhadap pemerintah, bahwa pengadilan mempunyai kedudukan yang seimbang dengan eksekutif dan bernegara. Seandainya pemerintah dibiarkan tidak tunduk terhadap putusan pengadilan, hal ini tentu akan merusak tatanan hukum yang ada dan menjadi preseden buruk bagi kehidupan bernegara. Dalam cakupan lebih luas, ketentuan seperti ini dapat melindungi semua warga negara terhadap tirani negara. Bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum, termasuk negara itu sendiri.

 

Memang benar, negara membuat peraturan perundang-undangan, namun setelah peraturan perundang-undangan itu berlaku, maka negara akan menjadi pihak yang tunduk kepadanya. Demikian pula terhadap putusan lembaga peradilan yang bersumber dari konstitusi sendiri.

 

Yang paling penting harus diingat adalah bahwa selama ini larangan penyitaan terhadap aset negara sudah berlaku limitatif. Sudah sering terjadi aparat penegak hukum, dengan alasan mengamankan aset negara, baik KPK maupun Kejaksaan Agung Republik Indonesia melakukan penyitaan terhadap aset negara yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Misalnya penyitaan terhadap rekening PT SMP, salah satu tersangka kasus dugaan tindak pidana SISMINBAKUM).

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aset negara dapat disita apabila memiliki alasan yang tepat. Rasanya penyitaan terhadap aset negara oleh perintah pengadilan karena pemerintah melakukan ingkar janji atau menolak memberikan hak warga negaranya, juga merupakan alasan yang tepat, karena memperlihatkan semua yang hidup di bawah Konstitusi Republik Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, sekalipun negara ataupun pemerintah.

 

-----

*) Penulis adalah associate pada sebuah kantor pengacara di Jakarta.

Di tengah lesunya kondisi perekonomian Indonesia belakangan ini, sebagaimana dapat terlihat dari situasi di pasar modal sebagai salah satu indikator kesehatan perekonomian Indonesia, kehadiran surat utang negara (SUN), baik yang berbentuk konvensional (Obilgasi Ritel Indonesia atau ORI) maupun yang bernafaskan hukum ekonomi Islam (SBSN) telah memberikan angin segar yang dapat menopang ekonomi bangsa ini dari kejatuhan lebih lanjut.

 

Fakta bahwa sukuk ritel yang diterbitkan baru-baru ini ramai diborong pembeli, adalah kabar yang sangat mengembirakan. Apalagi di tengah ketidakpercayaan investor terhadap instrumen-instrumen pembiayaan mengingat beberapa kasus-kasus pasar modal belakangan ini, yang mencerminkan lemahnya pengawasan otoritas bursa.

 

SUN dan SBSN memiliki nilai lebih ketimbang surat berharga yang dilepas oleh korporasi lainnya. Karena dikeluarkan oleh negara, asumsinya, tidak mungkin negara akan mangkir melaksanakan kewajiban untuk membayarkan obligasi tersebut. Bahkan, dengan keyakinan ini pula, para manager investasi untuk reksa dana terproteksi akan menggunakan 80% dana yang terkumpul untuk membeli SUN atau SBSN, sedangkan sisanya baru diinvestasikan ke tempat lain. Alasannya selama ini SUN memberikan kepastian pengembalian dana yang telah diinvestasikan, dan SBSN dijual dengan yield di atas nilai bunga deposito. Misalnya SBSN yang diterbitkan beberapa bulan lalu imbal hasil 11,8% per tahun dengan tenor 5 tahun dan 11,95% dengan imbal hasil 11,95% per tahun. Sedangkan sukuk ritel menawarkan imbalan sebesar 12% per tahun.

 

Dibandingkan saham dan reksa dana terproteksi yang tidak memiliki jaminan pemerintah atau deposito yang hanya dijamin pemerintah maksimal Rp 2 miliar, keberadaan sukuk ritel yang dijamin seluruhnya oleh pemerintah, ditambah dengan tingkat imbal hasil tinggi, jelas merupakan pilihan investasi mengiurkan dan ideal bagi siapapun.

Tags: