Belum Semua Fraksi Setuju Kewenangan Penuntutan KPK Dihapus
Berita

Belum Semua Fraksi Setuju Kewenangan Penuntutan KPK Dihapus

Dari 10 fraksi, tujuh di antaranya setuju kewenangan penuntutan KPK dihapus, dua menolak dan satu belum memberikan sikap. Pansus lanjutkan lobi.

Fat
Bacaan 2 Menit
Belum Semua Fraksi Setuju Kewenangan Penuntutan KPK Dihapus
Hukumonline

 

Satu persatu pandangan tiap fraksi dibacakan. Mulai dari fraksi yang menyetujui dihapusnya kewenangan penuntutan KPK sampai fraksi yang menolak penghapusan tersebut. Bahkan, ada satu fraksi yang belum menyatakan sikap terkait pasal alot tersebut.

 

Tujuh fraksi yang setuju diantaranya, F-PDIP, F-PG, F-Demokrat, F-PPP, F-PAN, F-BPD dan F-PDS. Satu fraksi yang belum memberikan sikap adalah F-PBR. Dua fraksi yang menolak dihapus kewenangan penuntutan KPK adalah F-KB dan F-PKS. Kedua fraksi yang menolak berpendapat korupsi sudah menjadi extra ordinary crime atau kejahatan yang luar biasa. Akibatnya semua penanganan dan pencegahan tindak pidana korupsi juga harus dilakukan dengan cara yang khusus.

 

Masalah korupsi ini sudah mencapai tahap extra ordinary crimes, jadi pendekatan penanganan juga harus dilakukan secara ekstra. Untuk itu, PKB usulkan pemberian kewenangan penuntutan kepada KPK bisa dipertahankan, ujar Nursjahbani Katjasungkana dari PKB.

  

Sementara, F-PDIP menyetujui dihapusnya kewenangan penuntutan KPK karena mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahwa, MK menyatakan Pasal 53 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 53 ini mengatur tentang pembentukan Pengadilan Tipikor.

 

F-PDIP tetap mengacu pada Putusan MK, bahwa Pasal 53 UU KPK tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya kami berpendapat penuntut itu adalah jaksa penuntut umum, bukanlah KPK, kata Politisi dari PDIP M Nurdin.

 

Pasal 53 UU KPK

Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

 

Pandangan Fraksi Demokrat yang disampaikan oleh Bruno Kakawawu memahami beragamnya pendapat yang muncul. Menurut Bruno, pembahasan RUU masih diperlukan keterlibatan aspirasi masyarakat agar RUU tetap berpihak pada kepentingan publik. Ia berpendapat jika KPK dianggap masih memerlukan kewenangan penuntutan, maka patut dikaji lebih dalam lagi.

 

Selain itu, terkait pasal penyadapan juga belum bisa diputus karena masih ada sejumlah fraksi yang tidak setuju terhadap draft pemerintah. Saya usulkan agar ada tenggat waktu dari Putusan MK perlu menjadi acuan. Maka perlu adanya lobi di tingkat fraksi. Fraksi kami ingin percepat pembahasan, ujarnya.

 

Sosiologis dan yuridis

Anggota Pansus Gayus Lumbuun meminta alasan yang kuat dari tiap fraksi  kenapa bersikap beda pada saat rapat Panja lalu. Menurutnya, semua alasan yang diungkapkan harus memenuhi persoalan sosiologis dan yuridis. Artinya putusan MK yang menyatakan Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, harus dicari alasan tepat dalam menilai. Jika tidak, yang muncul hanyalah sikap politis yang membuat pengambilan keputusan menjadi tidak sehat, katanya.

 

Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata memaklumi perbedaan pendapat dari seluruh fraksi. Andi mengatakan penghapusan kewenangan penuntutan KPK memang harus ada landasan sosiologis dan yuridis. Sikap tidak selamanya statis, tapi dinamis atau bisa berubah. Jadi harus ada aspek sosiologis dan yuridisnya, jika salah satu aspek tidak ada, hukum itu akan pincang, katanya.

 

Untuk itu, ia berharap ada kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR atas sejumlah substansi RUU yang krusial. Apabila terjadi beda jalan, dikonsultasikan dahulu, masih ada waktu. Hokum tidak akan kosong. Kalau UU ini tidak jadi penanganan perkara korupsi masih bisad ilakukan di pengadilan negeri, ujarnya.

 

Pada akhir rapat, Ketua Pansus mengambil kesimpulan bahwa permintaan F-PD untuk dilakukannya lobi antar fraksi patut dilakukan. Meskipun rapat direncanakan dua kali lagi, yaitu rapat Pansus dan Raker, lobi harus terus dijalankan. Dan Pansus tetap menyarankan agar RUU Pengadilan Tipikor diselesaikan pada masa jabatan DPR periode 2004-2009. Tepatnya setelah lebaran, dengan penyusunan agenda ditentukan bersama anatar pemerintah dan DPR, pungkasnya.

Seyogyanya, Rabu (16/9), Panitia Khusus (Pansus) RUU Pengadilan Tipikor menjadwalkan Rapat Kerja bersama pemerintah dalam rangka pengambilan keputusan tingkat I. Namun, rencana tersebut gagal, karena rapat tersebut berubah haluan. Sebagian fraksi belum sependapat mengenai kewenangan penuntutan KPK. Akibatnya, agenda Pansus pun mundur.

 

Ketua Pansus Dewi Asmara mengatakan seharusnya rapat kali ini mengagendakan laporan Panitia Kerja kepada Pansus. Kemudian, dilanjutkan dengan pengambilan keputusan tingkat I yang ditandai dengan pandangan mini fraksi. Namun, atas permintaan sebagian anggota Pansus aga dilakukan sinkronisasi beberapa pasal dalam RUU, semua agenda berubah.

 

Kita memberikan kesempatan bagi tiap fraksi untuk menyampaikan sikapnya terkait Pasal 1 ayat (4) draft RUU Pengadilan Tipikor versi pemerintah tentang kewenangan penuntutan, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: