​​​​​​​Beragam Cara Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Ekonomi
Penataran MAHUPIKI 2021:

​​​​​​​Beragam Cara Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Ekonomi

Aparat penegak hukum dapat menggunakan instrumen tindak pidana korporasi, TPPU, dan asset recovery untuk memberantas tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Yenti Ganarsih (tengah). Foto: RES
Yenti Ganarsih (tengah). Foto: RES

Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah akhirnya memberikan persetujuan bersama atas RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia dalam Masalah Pidana, pada 21 September lalu. Pengesahan Treaty between the Republic of Indonesia dan the Russian Federation on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ini merupakan wujud kerjasama internasional yang ditempuh Indonesia untuk mencegah dan memberantas tindak pidana. Perjanjian serupa sudah lebih dahulu ditempuh dengan beberapa negara lain.

Kerjasama semacam ini, di tengah kompleksitas dan jangkauan tindak pidana, merupakan keniscayaan. Acapkali tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi bersifat lintas negara. Kejahatan dilakukan di suatu negara oleh warga negara asing, dan hasil kejahatannya dicuci di negara ketiga. Atau, seorang warga negara asing melakukan kejahatan di negaranya lalu kabur ke Indonesia. Masih ingat kasus Andrei Kovalenka, warga negara Rusia yang masuk daftar Interpol, kabur dari kantor Imigrasi Ngurah Rai Bali, Februari lalu?

Dengan Mutual Legal Assistance (MLA), dua negara yang bekerjasama lebih mudah kemungkinan membongkar kejahatan yang sedang diusut. Dalam MLA Indonesia-Rusia, misalnya, kedua negara dapat melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, termasuk penelusuran, pemblokiraj, penyitaan, dan perampasan hasil-hasil dan sarana tindak pidana melalui bantuan hukum timbal balik.

Pentingnya kerjasama internasional itu pula yang disinggung Yenti Garnasih dalam Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Tahun 2021 yang diselenggarakan secara daring, Sabtu (9/10). Penataran ini diikuti akademisi dan praktisi dari Aceh hingga Papua, hasil kerjasama Mahupiki dan beberapa universitas.

Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) itu mengatakan, harus ada kerjasama internasional. “Agar memudahkan kita menangani kejahatan ekonomi,” ujarnya, seraya merujuk pada Konvensi Milan 1985.

Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economi Order, yang diterima dalam Kongres di Milan pada 26 Agustus-6 September 1985, memandang kerjasama internasional sangat penting untuk mencegah kejahatan (should assist each other in crime prevention and criminal justice efforts). Disebutkan juga bahwa kerjasama internasional tersebut menekankan pada pencegahan kejahatan dan berfungsinya sistem peradilan pidana (‘should be encouraged to foster balanced economic development, through restructuring of the international economic system, with due emphasis on crime prevention and the proper functioning of criminal justice systems’).

Tindak Pidana Ekonomi

Kerjasama internasional itu juga perlu ditopang oleh sistem peradilan pidana yang kuat. Termasuk di dalamnya perangkat peraturan perundang-undangan. Salah satu payung hukum di Indonesia yang belum dicabut adalah UU No. 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Tindak pidana ekonomi dipahami sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif ekonomi. Dalam doktrin, Ralph C. Hoeber, menyebut business crimes sebagai perbuatan tercela yang dilakukan pelaku bisnis demi keuntungan suatu bisnis. UU Darurat No. 7 Tahun 1955 mengkualifikasi beberapa aturan sebagai tindak pidana ekonomi: Ordonantie Gecontroleerde Goederan (Staatsblad 1948 No. 144) sebagaimana diubah dan ditambah dengan Staatblad 1949 No. 160; Prijsbeheersing-Ordonantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 295); UU Penimbunan Barang 1951; Rijsterdordonantie 1948 (Staatsblad 1948 No. 253); UU Darurat Penggilingan Padi; dan Deviezen Odonantie 1940 (Staasblad 1940 No. 205). Termasuk pula tindak pidana ekonomi tindakan yang disebut dalam Pasal 26, pasal 32, dan Pasal 33 UU Darurat; dan tindak pidana dalam UU lain yang mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana ekonomi.

Praktiknya, peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana ekonomi sudah berkembang. Tindak pidana di bidang pasar modal, mata uang, perbankan, dan korupsi dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana ekonomi karena berimbas pada perekonomian. Dampak tindak pidana yang dilakukan bahkan bisa sangat luas dan nilainya besar.

Yenti memberikan contoh kasus Jiwasraya dan Asabri. Selain kejahatannya bersinggungan dengan pasar modal, dan melibatkan pejabat di otoritas pengawas, jumlah korban dan nilai korupsi dalam kedua perkara ini juga sungguh fantastis. Penyitaan aset oleh aparat penegak hukum justru semakin merugikan para korban kejahatan ini. Hal serupa terjadi dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi. Jumlah korban yang sangat massif juga terjadi dalam kasus first travel, di mana pada akhirnya para korban harus kehilangan uang dan tidak jadi menunaikan ibadah umrah.

Baca:

Paradigma pencegahan dan pemberantasan

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, tindak pidana ekonomi dapat dicegah dan diberantas melalui dukungan regulasi dan aparat yang baik. Setidaknya ada tiga ‘amunisi’ yang dapat dipergunakan. Pertama, menggunakan instrumen kejahatan korporasi. Sejumlah peraturan perundang-undangan kini mengatur kejahatan korporasi, yang ditindaklanjuti pada regulasi teknis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sudah menetapkan beberapa perusahaan (korporasi) sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Kedua, aparat penegak hukum menggunakan instrumen tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi jugta dapat membahayakan sendi-sendiri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam kasus tertentu, jelas Yanti, aparat penegak hukum dapat menggunakan dakwaan kumulatif tindak pidana korupsi dan pencucian uang sekaligus. Cuma, dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu meminta agar aparat penegak hukum berhati-hati agar mekanisme dakwaan kumulatif benar-benar berhasil. Aparat penegak hukum telah diuntungkan rumusan Pasal 69 UU TPPU tersebut, yang menyatakan untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Amunisi ketiga adalah asset recovery. Lembaga-lembaga penegak hukum dalam sistem peradilan pidana mengajukan gugatan kepada orang atau korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Tujuannya adalah mengembalikan aset negara. Paradigma ini berkaitan dengan Pasal 19 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Salah satu masalah yang sering timbul adalah penyitaan aset terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik.

Tags:

Berita Terkait