Beramai-ramai ‘Gugat’ Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

Beramai-ramai ‘Gugat’ Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Karena Pasal 222 UU Pemilu membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga menghalangi hak warga negara mendapatkan banyak pilihan calon presiden. Lagipula dalam Pasal 6A UUD Tahun 1945 tidak menyebutkan syarat persentase untuk bisa mengusung pasangan calon presiden.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Jelang perhelatan Pemilihan Umum Tahun 2024 mendatang, permohonan uji materil aturan ambang batas pencalonan presiden kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada beberapa permohonan yang sudah memasuki pemeriksaan persidangan. Salah satunya, Ikhwan Mansyur Situmeang yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memohon pengujian Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Ikhwan menilai Pasal 222 UU Pemilu membatasi jumlah pasangan calon presiden yang bakal maju dalam Pemilu 2024.

Selengkapnya, Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Dalam permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 7/PUU-XX/2022, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945. Menurut Pemohon, Pasal 222 UU Pemilu tidak memiliki konsistensi dengan bunyi Pasal 6A UUD Tahun 1945 karena dalam Pasal 6A UUD 1945 tidak menyebutkan nominal persentase ambang batas pencalonan presiden.

“Dalam Pasal 222 UU Pemilu memberlakukan presidential threshold sebagai ambang batas yang justru membatasi jumlah calon presiden. Struktur Pasal 222 tidak memiliki konsistensi dengan Pasal 6A UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 6A UUD 1945 tanpa angka persen. Terbuka bagi partai politik,” ujar Ikhwan dalam persidangan seperti dikutip laman MK. (Baca Juga: Politisi Partai Gerindra ‘Gugat’ Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu justru berdampak pada hilangnya kesempatan masyarakat untuk menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan dari partai politik peserta pemilu nantinya. Menurut Pemohon, ketentuan ambang batas tersebut dapat mempengaruhi masa depan demokrasi dan membiarkan ketentuan tersebut berarti membiarkan tercengkeram politik oligarki. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu karena Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Menanggapi permohonan ini, Ketua Majelis Panel MK Anwar Usman memberikan catatan nasihat terhadap permohonan yang diajukan Pemohon. Anwar melihat kesamaan alasan permohonan dengan permohonan yang telah diajukan dan diputus oleh Mahkamah dalam permohonan sebelumnya.

Anggota Majelis Panel, Arief Hidayat mempertanyakan identitas Pemohon yang pada KTP berstatus karyawan swasta. Sedangkan dalam permohonan berstatus ASN di Sekretariat Jenderal DPD RI. Selanjutnya, Arief mengingatkan beberapa perkara serupa yang telah diputus MK, terutama terhadap kedudukan hukum perseorangan warga negara yang dapat menggeser pendapat Mahkamah.

Dalam perkara sebelumnya, MK memutuskan yang berhak mengajukan permohonan adalah partai politik bukan perseorangan warga negara. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat menjelaskan kedudukannya dalam perkara ini berpengaruh bagi ketentuan norma yang diujikan, sehingga Mahkamah dapat mengubah pendapatnya terhadap permasalahan yang diajukan dengan alasan yang kuat.

“Fungsi Mahkamah menjadikan UUD Tahun 1945 sebagai living constitution, sehingga Pemohon diharapkan dapat meyakinkan Mahkamah dengan menjelaskan berbagai aspek yang komprehensif agar MK dapat kemudian mengubah pendiriannya terhadap hal ini (kedudukan hukum, red),” kata Arief.

Dalam perkara terpisah, MK menggelar sidang perbaikan permohonan uji materil Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Selasa (25/1/2022) kemarin. Perkara yang diregistrasi Nomor 68/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Bustami Zainudin (Pemohon I/Anggota DPD Periode 2019–2024 dari Provinsi Lampung) dan Fachrul Razi (Pemohon II/Anggota DPD RI Periode 2019–2024 dari Provinsi Aceh).

Kuasa Hukum Para Pemohon, Refly Harun menyampaikan materi perbaikan terkait kedudukan hukum dan alasan permohonan di hadapan Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra sebagai anggota. Pada permohonan perbaikan ini, kata Refly, para Pemohon menguraikan pendekatan teks, perbandingan, sosiologis, dan sejarah untuk menjabarkan persoalan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam perkara ini.

Para Pemohon juga menjabarkan beberapa negara yang menggunakan sistem presidensial tidak menggunakan ketentuan presidential threshold untuk pencalonan presidennya. Refly menerangkan untuk pendekatan politik, pihaknya menjelaskan kemungkinan calon presiden tunggal akibat adanya aturan presidential threshold ini. Sedangkan pendekatan sosiologis menunjukkan telah terjadi pembelahan di masyarakat yang telah terlihat sejak Pemilu 2019 yang didominasi oleh dua calon presiden saja.

“Sementara dari sisi sejarah, sepanjang informasi yang ada kami dapati tidak ada pembahasan mengenai presidential threshold sejak dilakukan amendemen/perubahan konstitusi dari 1999–2002. Tidak pernah ada singgungan tentang presidential threshold yang berkaitan dengan pencalonan presiden ini. Adapun ketentuan presidential threshold hanya untuk pemilihan legislatif,” jelas Refly.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 6A ayat (5) UUD Tahun 1945. Para Pemohon membuat kontra argumentasi antara beberapa Putusan MK terkait Pasal 222 UU Pemilu. Nyatanya, tidak benar ketentuan presidential threshold tersebut memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab, sistem yang diatur dalam konstitusi sudah sangat kuat dengan tidak adanya lembaga tertinggi negara yang bisa menekan presiden.

Menurut para Pemohon, norma yang diujikan tersebut mengabaikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pilihan sebanyak-banyaknya calon presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berpedoman pada pertimbangan hukum MK pada Putusan MK 53/PUU-XV/2017 yang menggunakan penafsiran sistematis dalam membaca Pasal 6A UUD 1945, aturan presidential threshold (PT) merupakan aturan yang bersifat open legal policy.

Bagi para Pemohon, penafsiran open legal policy ini tidak tepat dimana dalam UUD Tahun 1945 telah ditetapkan pembatasan dan syarat pencalonan. Pemohon meyakini, persyaratan tersebut semestinya digolongkan pada close legal policy. Sementara sesuai preseden (putusan) Mahkamah, ketentuan tersebut dinyatakan open legal policy.

Berdasarkan Pemilu 2019 telah mengakibatkan para Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan banyaknya calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Mengingat melalui terhubung langsung dengan kepentingan masyarakat, maka partai politik perlu mempertimbangkan aspirasi rakyat/pemilih dalam mengusung calon presiden/wakil presidennya. Persoalannya, ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden ini mengakibatkan tereduksinya fungsi partai politik.

Dalam persidangan sebelumnya, Politisi Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono juga telah mempersoalkan pasal yang sama. Dia juga memohon pengujian materil Pasal 222 UU Pemilu. Hak memilih (right to vote) adalah hak konstitusional yang merupakan turunan dari hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (right to participate in government) sebagaimana dijamin Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Menurutnya, Pasal 222 UU Pemilu telah terbukti mengurangi atau membatasi hak konstitusional untuk memilih (right to vote) Pemohon dalam pemilihan presiden/wakil presiden (karena kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden diusung partai besar, red). Oleh karenanya hal ini harus dipandang sebagai sebuah kerugian konstitusional.

Pemohon beranggapan tidak benar masalah ambang batas presiden hanya terkait dengan eksistensi partai politik. Meskipun hanya partai politik yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum atau diamanatkan dalam Pasal 6A ayat (2) Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945.

“Sejatinya, partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan calon wakil presiden. Sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara termasuk Pemohon,” ujar Refly Harun dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan, Kamis (6/1/2022) lalu.

Tags:

Berita Terkait