Berharap DPD Berwenang Usung Pasangan Capres dan Cawapres
Terbaru

Berharap DPD Berwenang Usung Pasangan Capres dan Cawapres

Menurut Ketua DPD, dalam amandemen konstitusi hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dihilangkan. Termasuk hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan lembaganya terus berupaya untuk dapat mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari jalur perseorangan atau kalangan nonpartai. Sebab, selama ini yang berhak mengusung pasangan capres dan cawapres hanya partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu sesuai diatur Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.   

“Kalau partai politik di parlemen direpresentasikan melalui DPR RI, dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres, maka DPD RI sebagai representasi daerah, idealnya juga mendapat kesempatan sama untuk mengusung, misalnya satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dari usulan DPD RI,” kata LaNyalla saat menjadi pembicara di FGD Pascasarjana Universitas Airlangga secara daring seperti dikutip Antara, Kamis (8/7/2021).

Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.  

Fokus Group Diskusi itu mengusung tema Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensial. LaNyalla mengatakan DPD RI berikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD RI dalam mengajukan pasangan capres dan cawapres.

“Disebut memulihkan, karena apabila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres dan cawapres adalah ‘kecelakaan hukum’ yang harus dibenahi,” kata LaNyalla. (Baca Juga: Diusulkan Presidential Threshold Dihapus Lewat Amandemen Konstitusi)

LaNyalla mengingatkan presiden dan wakil presiden pernah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum amandemen UUD 1945. Saat itu MPR terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Hal ini berarti baik DPR selaku anggota MPR maupun anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan capres dan cawapres.  

“DPD RI lahir melalui amendemen ketiga UUD 1945, menggantikan Utusan Daerah. Karena itu, (dalam amandemen konstitusi, red) hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dihilangkan. Termasuk hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata LaNyalla.

Menurutnya, DPD memiliki legitimasi yang kuat karena posisi DPD RI dan Utusan Daerah memiliki perbedaan dari sisi keterpilihan. Apabila Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. “Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif nonpartisan yang memiliki akar legitimasi kuat dan mandat langsung dari rakyat,” dalih LaNyalla.

LaNyalla mengajak semua pihak berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021. Hasil survei tersebut menemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus berasal dari kader partai dan hanya 28,51 persen yang menginginkan calon presiden dari kader partai. Baginya, studi ini seharusnya direspons dengan baik.

“Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Makanya saya menggagas bahwa amendemen ke-5 nanti harus kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa ini,” tegasnya.

Apalagi, kata LaNyalla, bangsa ini lahir atas proses panjang perjuangan komunitas civil society yang meliputi Kerajaan Nusantara hingga pesantren serta organisasi masyarakat sipil lain. Ia menegaskan negara Indonesia bukan dilahirkan oleh partai politik.

Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna Luar Biasa ke-3 DPD RI Masa Sidang V Tahun 2020-2021 pada 24 Juni 2021 lalu, DPD menyetujui hasil kajian Tim Kerja (Timja) Politik Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tentang usulan Amandemen Kelima UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara terbatas.

Timja PPHN telah bekerja dan menyelesaikan rumusan draf usulan Perubahan ke-5 UUD NRI Tahun 1945 yang disusun oleh Kelompok DPD di MPR dalam rangka fungsionalisasi haluan negara dan penataan kewenangan MPR, DPR, dan DPD untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Timja PPHN ini menghasilkan pokok-pokok pikiran usul perubahan pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 secara terbatas yang akan diusung oleh DPD RI. Pertama, usul perubahan Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945. Menambahkan satu ayat baru yakni ayat (4) yaitu "Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan haluan negara atas usul Presiden setelah dibahas bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD)."

Kedua, usul perubahan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 sehingga berbunyi:

"(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah sepanjang menyangkut pelaksanaan haluan negara dalam program tahunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai kewenangan masing-masing dapat menolak rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan oleh Presiden.

(4) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai kewenangan masing-masing, tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu."

Selanjutnya, Pimpinan DPD menugaskan Kelompok DPD di MPR menindaklanjuti hal ini dan menghimbau kepada seluruh Anggota DPD RI untuk segera menyatakan dukungannya melalui penandatanganan dukungan usul Perubahan ke-5 UUD NRI Tahun 1945 secara terbatas, sebelum pelaksanaan Sidang Paripurna Penutupan Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021.  

Seperti diketahui, MPR sendiri sejak tahun 2019 lalu, sudah mengagendakan amandemen kelima UUD Tahun 1945. Terakhir, pada 11 Mei 2021 lalu, sejumlah anggota MPR menegaskan amandemen UUD Tahun 1945 dilakukan terbatas terutama pada Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan penataan kewenangan MPR, DPR, dan DPD. Tapi, belakangan muncul wacana presiden 3 periode dan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi hingga tahun 2027 dengan alasan keadaan darurat melalui “pintu” amandemen UUD Tahun 1945 ini. (ANT) 

Tags:

Berita Terkait