BPK Diminta Audit Investigatif Perusahaan Berbisnis PCR
Utama

BPK Diminta Audit Investigatif Perusahaan Berbisnis PCR

Untuk mengetahui sistem penunjukan perusahaan, penentuan harga yang disampaikan ke masyarakat, keuntungan yang didapat, mengetahui siapa pemegang saham dan keterlibatan berbagai pihak dalam perusahaan tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Politisi Senior Partai Demokrat itu pun meminta pemerintah terus menekan tarif tes PCR yang terbilang masih tinggi. Selain itu, pemerintah harus menindak secara hukum terhadap perusahaan-perusahaan bila ditemukan monopoli pasar dan membuat harga tes PCR menjadi tinggi. “Masyarakat kini tengah kesulitan di tengah pandemi, terlebih dengan harga tes PCR yang masih sangat tinggi,” katanya.

Tidak mencerminkan transparansi

Terpisah, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai penuruan tarif tes PCR tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan ini diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk perjalanan moda transportasi.

Dia melihat kebijakan harga tes PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah. Alhasil, harganya melambung tinggi, bahkan bisa mencapai Rp2,5 juta. Kemudian Oktober 2020, pemerintah baru mengontrol harga tes PCR menjadi Rp900 ribu. Berlanjut 10 bulan kemudian, harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.

Menurut Isnur, dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga kini, diperikirakan ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih. Bila kebijakan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Namun belakangan, tes PCR sebagai syarat perjalanan moda transportasi udara dan darat dianulir dan diubah cukup dengan tes antigen.

Dia melanjutkan berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6% dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun 2021 pun demikian. Per 15 Oktober diketahui dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen. Menurutnya, dari kondisi penyerapan anggaran tersebut sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberi akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.

Isnur berpendapat ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentukan harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya. Berdasarkan informasi yang dimiliki Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan, sejak 20 Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu.

Nah, ketika pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen. Sedangkan, komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan, sehingga penurunan harga menjadi Rp900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas. Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp300 ribu juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi. “Sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020, Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: