Catatan dan Pelajaran Penting dari Putusan Sengketa Pilpres 2024
Melek Pemilu 2024

Catatan dan Pelajaran Penting dari Putusan Sengketa Pilpres 2024

Masyarakat sipil dan akademisi harus melakukan konsolidasi secara lebih kompak dan solid untuk mengawal pemilu dan demokrasi.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Demisioner Dekan FH UGM (2016-2021) yang juga menjabat sebagai Guru Besar Luar Biasa STHI Jentera itu berpandangan bila mengharapkan situasi yang lebih baik 5 tahun ke depan, masyarakat sipil harus melakukan konsolidasi secara lebih kompak dan solid. Banyak pengkritik yang muncul beberapa bulan belakangan ini lantaran “tersadar” setelah menjadi bagian dari rezim sebelumnya.

“Kalau katakanlah mereka sekarang insyaf, (tersadar bahwa) posisi yang mereka ambil selama ini telah menjerumuskan negara, tata kelola pemerintahan, sistem demokrasi kita, dan implementasi konstitusi, serta penghormatan hak asasi manusia mengalami penurunan, degradasi, kerusakan. Integritas lembaga negara juga mengalami kerusakan dari KPU, Bawaslu, KPK, MK, dan institusi lain karena kehilangan visi yang sesuai dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Semestinya, kesadaran itu terus dilanjutkan dengan mendukung posisi kritis dari kalangan masyarakat sipil, akademisi.”

“Catatan yang menarik dan bisa dijadikan pijakan adalah putusan hakim yang melakukan dissenting opinion seperti disampaikan Prof Saldi Isra yaitu kesetaraan dalam proses pemilu. Kedua, netralitas aparatur sipil negara yang membantu pekerjaan pemerintah dalam kontestasi pemilu. Ketiga, bagaimana politisasi anggaran negara yang sesuai dengan ketentuan konstitusi dan UU digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan merata itu tanpa disalahgunakan. Hal-hal seperti itu harus dicegah dalam regulasi, institusi, dan implementasinya.”

Senada, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Titi Anggraini mengusulkan beberapa perbaikan yang harus dilakukan pembentuk UU dan penyelenggara pemilu untuk meningkatkan integritas dan kredibilitas Pemilu termasuk menyangkut penyelenggaraan Pilkada. Misalnya, ada sejumlah persoalan yang belum terdapat pengaturannya.

Pertama, menyangkut pendistribusian bansos di tengah tahapan krusial pemilu. Hal tersebut perlu diatur agar tidak menimbulkan kecurigaan dalam pemanfaatan bansos untuk kepentingan elektoral. Kedua, mengenai keterlibatan pejabat negara dalam kegiatan kampanye elektoral supaya tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan, jabatan, sumber daya negara, dan birokrasi.

“Penekanan pada Bawaslu yang harus membuat standar operasional terkait tata kerja penanganan pelanggaran yang harus memuat pisau analisis dan tata urutan, sehingga Bawaslu bisa mengungkap substansi telah atau tidaknya terjadi pelanggaran. Itu penekanan-penekanan dalam putusan tadi. Termasuk Mahkamah menyinggung soal SIREKAP, meski alat bantu bukan hasil resmi semestinya dipersiapkan lebih dulu dengan diaudit oleh lembaga yang kompeten. Itu perbaikan pengaturan yang semestinya tidak harus menunggu Pemilu 2029, tapi di Pilkada pun harus sudah dilakukan.”

Tak kalah penting, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu mengingatkan kepada semua pihak agar mengantisipasi pragmatisme calon yang mungkin akan menduplikasi pelanggaran yang dianggap bisa menghantarkan pada kemenangan. Hal ini harus dikawal sebaik mungkin agar problem seperti keraguan terhadap independensi penyelenggara, politisasi bansos, mobilisasi aparatur sipil negara untuk kepentingan pemenangan kandidat, pengelolaan tahapan pemilu yang tidak profesional sampai dengan teknologi yang kurang kredibel, tidak kembali terjadi.

“Di Pilkada itu potensi benturan massa dan konfliknya cukup tinggi, karena mengingat arena kompetisinya itu sangat lokal dan mudah terjadi gesekan. Pelajaran dari Putusan MK ini sangat banyak, fenomena amicus curiae yang membludak itu mengindikasikan bahwa masyarakat punya kepedulian dan mau berpartisipasi. Oleh karenanya, gerakan masyarakat sipil perlu lebih terkonsolidasi mengawal Pemilu dan demokrasi Indonesia,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait