Dianggap Menurunkan Upah, Permenaker Pengupahan Padat Karya Diprotes Buruh
Berita

Dianggap Menurunkan Upah, Permenaker Pengupahan Padat Karya Diprotes Buruh

Permenaker membuka peluang bagi industri padat karya tertentu yang terdampak pandemi Covid-19 untuk melakukan penyesuaian upah yang dinilai Kalangan buruh berpotensi menurunkan upah buruh di sektor padat karya.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Namun, terbitnya Permenaker ini diprotes kalangan serikat buruh. Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, menilai Permenaker ini membolehkan perusahaan industri padat karya tertentu yang terdampak pandemi Covid-19 melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh. Beleid ini membuat hak normatif buruh tidak terlindungi karena pengusaha dibolehkan mengurangi upah buruh dengan alasan terkena dampak pandemi Covid-19.

Mirah memahami pandemi Covid-19 menimbulkan dampak yang sangat luas, tapi pemerintah seharusnya tidak menerbitkan peraturan yang merugikan buruh. Sebagaimana diketahui sebagian besar buruh industri padat karya mendapat upah hanya sebatas upah minimum. “Jika upahnya dikurangi dipastikan buruh semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” kata Mirah Sumirat ketika dikonfirmasi, Selasa (23/2/2021).

Walaupun Permenaker menyebut penyesuaian upah ini dilakukan melalui kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh secara musyawarah yang dilandasi kekeluargaan, transparansi, dan itikad baik, tapi Mirah yakin hal ini sulit terwujud. Praktiknya selama ini sulit menemukan pengusaha yang benar-benar transparan dan terbuka terhadap buruhnya mengenai keuangan perusahaan. Apalagi Permenaker ini tidak mewajibkan pengusaha membuka laporan keuangan yang telah diaudit guna membuktikan kerugian karena dampak pandemi Covid-19.

“Permenaker ini juga tidak memberikan jaminan perlindungan hak jika pekerja tidak sepakat dengan penyesuaian upah,” ujarnya.

Mirah khawatir Permenaker ini memicu pengusaha di sektor industri lain untuk melakukan hal yang sama yakni pengurangan upah buruh dengan alasan pandemi Covid-19. Pemotongan upah buruh akan berdampak lebih luas terhadap perekonomian nasional karena membuat daya beli masyarakat semakin turun.

Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Dian Septi Trisnanti, mengatakan organisasinya secara prinsip menolak UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sekaligus menolak Permenaker No.2 Tahun 2021 ini karena membuat pengusaha berpotensi semakin sewenang-wenang memberikan upah.

Sekalipun Permenaker memberi ruang bagi pengusaha dan buruh untuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam menentukan upah, tapi Dian menilai hal ini bentuk lepas tanggung jawab negara dalam memberikan pelindungan buruh. “Peran negara sengaja dihilangkan. Kita juga tahu buruh di Indonesia banyak yang belum berserikat, sehingga kesetaraan dalam perundingan itu menjadi hal yang sulit dicapai,” kata dia.

Sama seperti Mirah, Dian menilai sangat sulit mencari pengusaha yang transparan dalam memberikan laporan keuangan perusahaan kepada buruh. Selama ini pengusaha kerap mengeluh merugi, tapi tidak pernah menunjukkan laporan keuangannya. Permenaker ini justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, antara lain UU Cipta Kerja yang menegaskan upah tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan.

Permenaker ini harusnya menyasar pihak yang upahnya lebih tinggi di atas upah minimum. Standar penyesuaian juga harus jelas tidak boleh di bawah upah minimum. Dian mencatat selama masa pandemi Covid-19 ini Pemerintah telah memberikan banyak stimulus bagi pengusaha. Misalnya, keringanan pajak, kredit, dan pembayaran iuran BPJS. Perlindungan serupa harusnya juga diberikan untuk buruh. Jangan sampai produktivitas buruh menurun, sehingga berdampak terhadap perusahaan.

“Jika daya beli buruh hilang, siapa yang akan menyerap hasil produksi barang-barang yang diproduksi para pengusaha? Semestinya Pemerintah mencari solusi untuk menyelamatkan dunia usaha sekaligus menyelamatkan daya beli buruh,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait