Dinilai Cacat Formil, MK Diminta Batalkan Perubahan UU Minerba
Berita

Dinilai Cacat Formil, MK Diminta Batalkan Perubahan UU Minerba

Karena proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba menjadi UU terburu-buru, tidak transparan (tertutup), tidak partisipatif meminta masukan aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pada tanggal 12 Mei 2020, DPR bersama Pemerintah telah menyetujui RUU tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU. Kemudian, Presiden menandatangani Presiden pada 10 Juni 2020 dan langsung diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dalam lembaran negara di hari yang sama menjadi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Perubahan UU Minerba).

Terbentuknya UU No. 3 Tahun 2020 ini dinilai mengandung potensi moralitas hukum formil dan materil yang jahat bagi pembangunan nasional bidang pertambangan mineral dan batubara yang bertentangan Sila Kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. Atas dasar itu, sejumlah elemen masyarakat mengajukan uji formil Perubahan UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK).  

Permohonan ini diajukan oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erza Rosman Djohan; Ketua PPUU DPD Alirman Sori; Anggota DPD Tamsil Linrung; Ketua Perkumpulan Serikat Islam Hamdan Zoelva; IRESS Marwan Batubara; IMW Budi Santoro; Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Ilham Rofki Nurfajar; dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia M. Andrean Saefudin.

Untuk itu, Tim hukum uji formil UU No. 3 Tahun 2020 mengajukan permohonan pengujian UU No. 3 Tahun 2020 ke MK agar UU ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar salah satu kuasa hukum para pemohon, Ahmad Redi saat dihubungi usai mendaftarkan pengujian UU ini ke MK, Jum’at (10/7/2020). (Baca Juga: Bermasalah, Pembahasan RUU Minerba Diminta Dilibatkan Masyarakat)

Ahmad Redi menilai sejak awal pembahasan dan pengesahan RUU Minerba sangat dipaksakan dan terburu-buru. Hal ini Nampak jelas pengesahan RUU ini tidak untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya sebagian pelaku usaha pertambangan batubara.

Ia menjelaskan RUU Minerba inisiatif DPR ini telah disusun draftnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga berakhirnya masa jabatan DPR periode lalu belum ada pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba. Padahal, Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM.

“Seluruh pembahasan RUU Minerba dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di Gedung DPR. Pembahasan RUU dilakukan melalui rapat kerja dan rapat Panitia Kerja (Panja) yang seharusnya terbuka untuk umum. Padahal, sesuai UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Tata Tertib DPR yang menyatakan semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, bisa tertutup hanya apabila terkait dengan rahasia negara atau kesusilaan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait