Dua Mantan Hakim MK Sebut Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Hal Bersejarah
Terbaru

Dua Mantan Hakim MK Sebut Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Hal Bersejarah

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 akan memberi dampak pada pembentukan UU ke depan.

Oleh:
CR-28
Bacaan 3 Menit
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait uji materi UU Cipta Kerja, Kamis (25/11). Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait uji materi UU Cipta Kerja, Kamis (25/11). Foto: RES

Dikabulkannya sebagian dari permohonan uji formil atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (25/11), memunculkan ragam reaksi dari masyarakat, seperti Konfederasi Serikat Pekerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), hingga tokoh-tokoh publik.

Meski terdapat dissenting opinion dari empat hakim konstitusi, dalam amar Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dengan alasan penyusunan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan untuk pembentukan suatu Undang-Undang yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus mantan Ketua MK (periode 2003-2006 & 2006-2008), Jimly Asshiddiqie, melalui akun twitternya @JimlyAs ikut angkat bicara. “Ini putusan penting dan bersejarah (landmark decision). Selanjutnya, uji formil akan makin berpengaruh dalam praktik pembentukan hukum dan MK makin tegaskan fungsi yang bukan saja kawal konstitusi tapi juga kawal demokrasi,” kata Jimly.

Ada beberapa alasan yang membuat Jimly menyatakan demikian. Pertama, objek permohonan yakni UU Cipta Kerja merupakan UU yang menerapkan omnibus technic yang merupakan tradisi baru dalam hukum Indonesia. Terlebih, dengan ketebalan melampaui kelaziman mencakup lebih dari 84 UU. 

Kedua, perkaranya diuji secara formil dan dikabulkan. Hal tersebut merupakan pertama kali uji formil dan dikabulkan dalam sejarah peradilan Indonesia. Karena baik di MK maupun Mahkamah Agung (MA) belum pernah terdapat putusan uji formil yang dikabulkan. (Baca: MK Minta UU Cipta Kerja Diperbaiki, Bukti Partisipasi Publik Perlu Dibuka Seluas-luasnya)

“Saya mengajak semua pihak untuk menerima putusan final dan mengikat MK itu dengan apa adanya. Jadi kita hormati dan kita laksanakan sebagaimana bunyi amarnya.  Kita harus membangun tradisi menghormati putusan pengadilan. Karena putusan pengadilan itu sudah didasarkan atas asas ius curia novit, hakim itu tau hukumnya,” kata Jimly ketika dikonfirmasi Hukumonline.

Jimly juga menjelaskan bahwa dengan lahirnya putusan landmark yang mengabulkan permohonan uji formil menunjukan bahwa demokrasi yang dilakukan di parlemen dikawal langsung oleh MK. Melalui putusan ini MK semakin menegaskan eksistensinya bukan semata menjadi pengawal konstitusi, namun juga menjadi pengawal bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait