Dua Pakar Hukum UGM Ini Minta MK Batalkan Putusan No.90/PUU-XXI/2023
Utama

Dua Pakar Hukum UGM Ini Minta MK Batalkan Putusan No.90/PUU-XXI/2023

Pemohon meminta MK mengadili dan memutus perkara dengan menggunakan pendekatan hukum progresif. Sebab, konsep hukum yang terlalu positivistik dinilai tidak mampu mewujudkan keadilan substantif. Pemohon juga meminta MK memerintahkan KPU mencoret Paslon Prabowo-Gibran atau mencari calon pengganti.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Oleh karenanya, perkara ini diajukan untuk meluruskan kembali isu-isu konstitusional guna menyelamatkan demokrasi Indonesia,” demikian bunyi sebagian pokok permohonan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimohonkan Denny dan Zaenal sebagaimana dikutip dari laman mkri.id, Kamis (11/1/2024).

Merujuk Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan setiap hakim (termasuk hakim konstitusi) harus mengundurkan diri dari mengadili perkara yang melibatkan kepentingan keluarganya. Apabila tidak mengundurkan diri, putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah (tidak memenuhi syarat formil). Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 ikut diputus dan diadili oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman yang posisinya sebagai paman dari Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo (Presiden RI).

Hubungan itu terjadi karena Anwar Usman menikah dengan adik Presiden Jokowi bernama Idayati. Terbukti bahwa putusan MK tersebut digunakan Gibran untuk mendaftar sebagai Cawapres dalam Pemilu 2024. Anwar Usman seharusnya mundur dalam memeriksa perkara putusan No.90/PUU-XXI/2023. Keterlibatan Anwar Usman memutus perkara itu menjadikan putusan No.90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil dan menjadi tidak sah (batal demi hukum). 

Menurut pemohon, syarat formil sebuah putusan yang diatur Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman tidak hanya mengikat hakim di bawah naungan Mahkamah Agung (MA), tapi juga hakim MK. Jika menggunakan penafsiran gramatikal Pasal 17 ayat (5) UU Pemilu mengikat bagi semua jabatan hakim.

Sejatinya ketentuan itu menggunakan frasa ‘seorang hakim’ dengan huruf “h” kecil yang artinya generik berlaku untuk semua hakim. Bukan hanya ‘hakim’ atau ‘Hakim’ dengan huruf besar sebagaimana diatur Pasal 1 Ketentuan Umum angka 5 yang memang hanya dimaksudkan untuk hakim agung dan peradilan di bawahnya.

Anggota tim kuasa hukum pemohon, Muhamad Raziv Barokah, menjelaskan sidang pengujian UU Pemilu ini terakhir digelar pada 11 Desember 2023 lalu dengan agenda sidang perbaikan permohonan. Sampai saat ini belum ada pemberitahuan kapan proses sidang berikutnya. “Kami berharap perkara ini diputus secepatnya. Harapannya agenda sidang ke depan bisa langsung putusan,” kata Muhamad Raziv saat dikonfirmasi, Kamis (11/1/2024).

Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di gedung MK, Selasa (29/11/2023) lalu, Anggota Majelis Panel Arief Hidayat mengatakan para pemohon dapat menggunakan pendekatan hukum progresif, bukan formalistik legalistik. Ketua Majelis Panel Suhartoyo meminta pemohon menyajikan data perbandingan dengan negara lain.

“Perbandingan dengan MK di negara lain yang telah melakukan kewenangan seperti saat ini dimohonkan para pemohon,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait