Etika Profesi Hukum dalam Literatur
Resensi

Etika Profesi Hukum dalam Literatur

Buku teks mengenai kode etik profesi hukum gampang diperoleh. Ada yang diperjualbelikan di toko buku, ada pula yang hanya diterbitkan untuk kebutuhan internal.

Mys
Bacaan 2 Menit
Buku Teks mengenai kode Etik Profesi Hukum dalam Literatur, Foto: Sgp
Buku Teks mengenai kode Etik Profesi Hukum dalam Literatur, Foto: Sgp

Yan Apul Girsang tak malu mengakui usianya sudah menanjak ke angka 70 tahun. Puluhan tahun menjalankan profesi sebagai advokat, Yan Apul merasa galau menghadapi satu problem yang melanda dunia advokat: menegakkan kode etik profesi. Kisruh wadah tunggal membuat kode etik kian sulit ditegakkan. “Pengawasan kode etik menjadi tidak efektif,” keluh Yan Apul di sela-sela pertemuan ‘islah’ Perhimpunan Advokat Indonesia dan Kongres Advokat Indonesia yang digagas Komisi Hukum Nasional (KHN), akhir Agustus lalu.

 

Kemelut organisasi bukan satu-satunya penyebab kode etik profesi advokat sulit ditegakkan. Sejak Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 berlaku hingga kini, advokat yang dibawa ke Dewan Kehormatan masih terbilang dengan jari. Padahal, jumlah advokat yang tersandung masalah terus bertambah. Terakhir, dua orang advokat –Haposan Hutagalung dan Lambertus Palang -- terseret kasus mafia hukum. Malah ada advokat yang berebut klien di persidangan. Apakah banyak advokat kurang memahami kode etik?

 

Jawabannya mungkin tidak banyak. Memahami kode etik profesi adalah bagian terpenting ketika seseorang hendak menjadi advokat. Soal-soal ujian didominasi masalah kode etik. Kalaupun setelah menjadi advokat, lupa detail kode etik, ia masih bisa membaca dari segudang referensi. Begitu pula hakim, jaksa, dan polisi. Etika profesi, kata Sidharta (2006: 1) sesungguhnya telah menjadi bahan perbincangan klasik, setua dengan kemunculan sebutan profesi itu sendiri, meskipun pada awalnya diskursus mengenai etika profesi masih bersifat makro.

 

Etika profesi , kata Frans Magnis Soeseno, merupakan bagian dari etika sosial. Untuk menegakkan etika dalam kehidupan sosial, suatu profesi memiliki prinsip-prinsip yang wajib ditegakkan. Prinsip-prinsip itulah yang dituangkan dalam kode etik profesi. Kode etik biasanya disusun oleh komunitas profesi itu sendiri. Dari dulu, beberapa profesi sudah memiki etika profesi, dan sebagian lagi masih berupa kebiasaan etika yang tidak tertulis.

 

Tak mengherankan jika etika profesi masih berupa kajian kecil dalam buku-buku profesi. Buku Advokat Indonesia: Citra, Idealisme, dan Keprihatinan karya Frans Hendra Winarta (1995), misalnya, menyinggung sekilas tentang etika profesi bagi advokat. Yudha Pandu membahas dalam satu bab mengenai etika profesi pengacara dalam bukunya Klien dan Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini (2001). Belakangan, muncul kajian-kajian yang spesifik membahas kode etik profesi hukum.

 

Mau referensi yang berbahasa Indonesia, kita bisa menelusuri beberapa referensi. Ada tulisan Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum (1994). Penerbit Kanisius Yogyakarta pernah menerbitkan buku E. Sumaryono, ‘Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum (1995). Liliana Tedjosaputro pernah menulis  buku Etika Profesi dan Profesi Hukum (Aneka Ilmu Semarang, 2003).

 

Anda juga akan menemukan buku Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum karya CST Kansil dan Christine ST Kansil, dan ‘Etika Profesi Hukum, Sebuah Pendekatan Sosio-Religius karya E.Y. Kanter. Karya yang sedikit falsafati ditulis Sidharta, seorang doktor ilmu hukum, diberi judul Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir (2006). Jika buku Kanter dan Sidharta bersifat general, buku Kansil dan Kansil justru secara khusus membedakan dan memilah-milah etika profesi advokat, hakim, jaksa, polisi, dan notaris. Kelebihan buku Sidharta, antara lain, melampirkan naskah kode etik terbaru yang berlaku universal. Di buku terbitan Refika Aditama ini, Anda bisa membaca The 22nd International Congress of the Latin Body of Notaries, dan The Bangalore Principle of Judiciary Conduct.

Halaman Selanjutnya:
Tags: