Guru TK Terjerat Pinjaman Fintech, Ini Respons OJK
Terbaru

Guru TK Terjerat Pinjaman Fintech, Ini Respons OJK

Masyarakat diminta tidak memanfaatkan fintech lending yang tidak terdaftar atau berizin OJK.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: RES

Permasalahan pinjaman fintech seorang Guru TK bernama Susmiati yang membengkak menjadi puluhan juta menjadi sorotan publik saat ini. Berdasarkan hasil penyampaian Guru TK tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan, Susmiati meminjam melalui 19 fintech lending ilegal dan lima fintech lending yang terdaftar atau berizin di OJK. Sedangkan, total kewajibannya mencapai sekitar Rp 35 juta, dengan rincian Rp 29 juta di fintech lending ilegal dan Rp6 juta di fintech lending resmi.

Menanggapi persoalan tersebut, OJK melalui Kepala Kantor OJK Malang Sugiarto Kasmuri, melakukan pertemuan dengan Guru TK yang berdomisili di Malang. Pertemuan OJK dengan Susmiati juga dihadiri Walikota Malang Sutiaji yang juga memberi perhatian terhadap kasus ini.

OJK menyatakan akan memfasilitasi penyelesaian kewajiban Susmiati pada fintech yang legal dan akan berkoordinasi dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengenai kemungkinan adanya pelanggaran pelayanan yang dilakukan terhadap Susmiati.

Sementara mengenai pinjaman pada fintech lending yang ilegal, dalam pertemuan itu disepakati akan dibantu penyelesaiannya oleh Baznas Kota Malang sesuai arahan Walikota. Kantor OJK Malang juga akan menindaklanjuti kasus ini dengan menemui Kapolresta Malang guna membahas penanganan terhadap fintech lending yang ilegal.

Sebelumnya, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing juga menyatakan prihatin atas kasus yang menimpa Susmiati dan meminta masyarakat untuk tidak memanfaatkan fintech lending yang tidak terdaftar atau berizin OJK. (Baca: OJK Cabut Tanda Pendaftaran 8 Fintech Lending P2P)

“Kami sangat prihatin dengan peristiwa ini. Ini bukti bahwa kegiatan fintech lending ilegal sangat membahayakan masyarakat," kata Tongam.

Tongam juga meminta masyarakat yang sudah menjadi korban penagihan dengan kekerasan dari fintech lending ilegal untuk segera melaporkannya kepada Kepolisian "Kegiatan penagihan yang tidak beretika dari fintech lending ilegal dengan teror, intimidasi, atau pelecehan merupakan tindakan yang tidak bisa ditolerir dan harus diproses hukum. Kita percayakan penanganannya di Kepolisian," kata Tongam.

Satgas Waspada Investasi dalam operasionalnya mencegah kerugian masyarakat hingga April kembali menemukan 86 platform fintech lending ilegal dan 26 kegiatan usaha tanpa izin yang berpotensi merugikan masyarakat. Sejak 2018 sampai April 2021 ini Satgas sudah menutup sebanyak 3.193 fintech lending ilegal.

Sementara itu, Wali Kota Malang Sutiaji meminta warga untuk berhati-hati dalam mengajukan pinjaman uang berbasis online atau daring guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Sutiaji mengatakan pada praktiknya pinjaman berbasis daring atau yang biasa dikenal dengan pinjaman online (pinjol) masih banyak yang berstatus ilegal dan tidak terdaftar pada OJK. "Saya ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa pinjol itu banyak yang ilegal," kata Sutiaji seperti dikutip dari Antara.

Sutiaji menjelaskan pinjaman online ilegal tersebut biasanya akan meminta akses terhadap nomor kontak yang tersimpan pada telepon pintar milik nasabah yang mengajukan pinjaman secara daring tersebut. Nantinya, jika nasabah yang mengajukan pinjaman secara daring tersebut mengalami kredit macet atau tidak mampu membayar cicilan, pemberi pinjaman akan menggunakan kontak tersebut untuk melakukan teror pelunasan utang.

Kabar terakhi, Susmiati yang terjerat utang pada 24 aplikasi penyedia jasa pinjaman online dengan total mencapai Rp40 juta, itu dipecat pihak sekolah karena permasalahan tersebut. "Kalau dia kemarin diberhentikan dari sekolah, saya sudah menghubungi lembaga yayasan yang di atasnya. Nanti akan saya minta bertemu," kata Sutiaji.

Berdasarkan keterangan, guru TK berinisial S tersebut mengaku terpaksa meminjam uang di aplikasi pinjaman online untuk membayar kuliahnya. Pada awalnya, S meminjam uang Rp2,5 juta untuk biaya kuliah di salah satu universitas di Kota Malang.

Pada saat pinjaman tersebut jatuh tempo, S tidak mampu membayar. Namun, kemudian S mengajukan pinjaman lain pada aplikasi yang berbeda-beda. S akhirnya terjerat utang pada sejumlah aplikasi pinjaman online lainnya.

Pihak sekolah mengetahui kasus tersebut karena proses penagihan utang yang dilakukan oleh penyedia pinjaman melibatkan nomor kontak orang-orang yang berada dalam buku telepon pintar milik S. Akhirnya, pihak sekolah memutuskan untuk memecat S pada 2020 silam.

Kasus ini menjadi perhatian Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Dia mendesak OJK untuk segera menutup jasa pinjaman online (pinjol) ilegal usai seorang guru TK mendapatkan teror serta ancaman kekerasan dari pinjol ilegal tersebut.

"Kasus yang menimpa Guru TK asal Sukun, Kota Malang, menjadi cermin jahatnya pinjaman online dalam menyelesaikan kasus. Mereka menggunakan debt collector dan mengintimidasi korban karena terlilit utang. Ini merupakan satu contoh dari ribuan korban lintah darat pinjol," ujar Ketua DPD LaNyalla dalam keterangan tertulis.

Senator asal Jawa Timur ini meminta OJK untuk melacak dan menghentikan semua aktivitas lembaga keuangan ilegal, seperti pinjol, fintech, koperasi simpan pinjam, dan lembaga-lembaga sejenis yang sangat marak dan lepas dari kontrol OJK. "Kita akan terus memantau tindakan OJK sampai aktivitas rentenir jenis ini ditutup dan dipidanakan," kata Ketua DPD RI LaNyalla.

Kasus pinjol ilegal kembali terjadi. Kali ini, seorang guru TK asal Sukun, Kota Malang, Jawa Timur, menjadi korbannya. Ia terlilit hutang dengan 24 pinjaman online. Akibatnya, sang guru mendapat teror dan ancaman kekerasan. Guru tersebut diketahui meminjam uang untuk membayar kuliah S1. Namun yang membuat Ketua DPD LaNyalla lebih miris adalah sang guru justru diberhentikan dari kerjanya.

"Sang guru ini harus meningkatkan kapasitasnya dengan menempuh pendidikan S1 sebagai syarat mengajar TK di tempatnya bekerja. Bukannya dibantu, ia malah dipecat. Seharusnya, kondisi seperti ini menjadi perhatian. Sebab, bukan rahasia lagi jika kita sebut gaji guru honor itu sangat jauh dari cukup, apalagi untuk membayar kuliah," kata Ketua DPD LaNyalla.

Kondisi inilah, menurut dia, kerap dimanfaatkan pinjaman online untuk menjerat korban. "OJK harus bisa bergerak lebih cepat untuk memberantas lembaga-lembaga keuangan dengan dalih memberikan kemudahan pinjaman. Karena mereka sebenarnya tidak memberi kemudahan, mereka adalah rentenir yang memeras korban dengan bunga hingga 100 persen," ujar LaNyalla.

Tags:

Berita Terkait