Nalar Keadilan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Cerai Gugat
Kolom

Nalar Keadilan Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Cerai Gugat

Tidak setiap perkara cerai gugat dapat dibebankan kewajiban nafkah iddah dan mut’ah kepada pihak suami, namun harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu.

Bacaan 4 Menit
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah mengeluarkan kebijakan terkait jaminan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian melalui surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1960/DJA/HK.00/6/2021 tanggal 18 Juni 2021 dan pemberlakuan ringkasan kebijakan (policy brief) jaminan perlindungan hak-hak perempuan dan anak pascaperceraian melalui surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959 tanggal 25 Juni 2021.

Salah satu poin penting dalam kebijakan tersebut adalah pihak istri sebagai Penggugat dalam perkara cerai gugat dapat mengajukantuntutan akibat perceraian yang mencakup nafkah iddah dan mut’ah, sebagaimana terdapat dalam blangko gugatan yang wajib disediakan.

Tuntutan yang demikian tentu merupakan hal baru dalam praktik hukum di lingkungan Peradilan Agama, dan dapat menuai kontroversi. Alasannya karena tidak ada dasar hukum bagi Penggugat dalam perkara cerai gugat untuk menuntut nafkah iddah dan mut’ah.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 119 ayat 2 huruf c dan Pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (dalam perkara cerai gugat) termasuk talak bain sughra, dan istri yang dijatuhi talak bain dan tidak dalam kondisi hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah iddah.

Sementara mut’ah hanya menjadi kewajiban suami yang menjatuhkan talak terhadap istri yang telah dicampuri (ba’da dukhul) dan belum ditetapkan mahar (Pasal 158 KHI), dan dianjurkan bagi suami yang menjatuhkan talak tanpa syarat (Pasal 159 KHI). Oleh karena itu tidak ada dasar hukum bagi Penggugat untuk menuntut nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat.

Meski tidak ada ketentuan dalam KHI yang menjadi dasar hukum bagi Penggugat untuk menuntut nafkah iddah dan mut’ah, namun berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, hakim karena jabatannya (ex-officio) memiliki kewenangan untuk membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah kepada Penggugat. Hal ini sesuai dengan hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak nusyuz.

Ketentuan Pasal 41 huruf c tersebut sebenarnya merupakan bentuk kompromi antara ketentuan hukum perdata Barat dan hukum Islam dalam hal tunjangan pasca perceraian. Dalam hukum perdata Barat, pembebanan kewajiban tunjangan pasca perceraian didasarkan atas kemampuan pihak, sedangkan dalam hukum Islam didasarkan atas jenis kelamin, yaitu laki-laki sebagai suami.

Tags:

Berita Terkait