Suami Beli Properti Diam-diam untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya
Terbaru

Suami Beli Properti Diam-diam untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya

Jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kehidupan pasangan suami istri setelah memutuskan untuk berumah tangga tidaklah mudah. Pasangan dihadapi oleh persoalan rumah tangga yang kompleks. Tak hanya menyangkut soal ekonomi, masalah kesetiaan atau perselingkuhan juga menjadi momok dalam menjaga keutuhan rumah tangga.

Di setiap era, isu perselingkuhan dalam rumah tangga selalu ada. Perselingkuhan dapat dilakukan oleh pihak mana saja, baik suami maupun istri. Bahkan tak jarang pasangan yang berselingkuh memutuskan untuk ‘memanjakan’ pasangan gelapnya lewat materi, semisal membelikan sebuah properti.

Dalam kasus suami berselingkuh kemudian memutuskan untuk membeli properti untuk selingkuhannya, apakah memiliki konsekuensi hukum? Terutama jika perkawinan dilakukan tanpa pemisahan harta atau yang berlaku adalah harta bersama.

Dikutip dalam artikel klinik Hukumonline “Suami Diam-Diam Beli Properti untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya!”, pada prinsipnya, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengenal 3 ragam harta dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 yakni:

  1. harta bawaan, yakni harta yang diperoleh suami-istri sebelum menikah;
  2. harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan; dan
  3. harta bersama, yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2)). Sehingga, suami dan istri memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaan (Pasal 36 ayat (2)).

Sedangkan terhadap harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1), suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya. Dengan demikian, suami atau istri tidak dibenarkan melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya.

Jika perkawinan dilakukan tanpa perjanjian perkawinan, suami yang melakukan pembelian properti untuk selingkuhannya, maka suami telah melakukan 2 perbuatan hukum, yakni transaksi jual-beli properti berupa 1 unit property berdasarkan perjanjian jual-beli dan hibah properti kepada perempuan yang menjadi selingkuhannya berdasarkan perjanjian hibah, yang mana properti tersebut dibeli menggunakan harta bersama.

Dikarenakan jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama. Oleh karenanya, kedua perbuatan tersebut harus dilakukan atas persetujuan atau izin istri.

Lalu, apa konsekuensinya jika perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa izin/persetujuan istri?

Mengenai konsekuensi hukum dalam hal suami/istri melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya dapat dijumpai dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996 tertanggal 18 September 1998 yang mengandung kaidah hukum (Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008, Berdasarkan Penggolongannya) yakni: “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum.”

Lebih lanjut, dalam yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya diterangkan bahwa jual-beli tanah, yang merupakan bentuk perbuatan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum, sebagaimana tertuang dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/PDT/1997 tertanggal 24 Maret 1999 yang mengandung kaidah hukum: “Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum.”

Jika merujuk pada kedua yurisprudensi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama, termasuk berupa pembelian dan hibah properti dengan menggunakan harta bersama, yang dilakukan oleh suami tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum.

Selain itu, jika merujuk pada syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), ditegaskan bahwa suatu perjanjian sah diantaranya jika memenuhi syarat “sebab yang halal”, yang berarti isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Perbuatan hukum yang dilakukan terhadap harta bersama tanpa persetujuan suami/istri melanggar ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, sehingga perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut tidak memenuhi syarat “sebab yang halal”. Konsekuensi perjanjian yang dibuat karena sebab yang terlarang ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Penjelasan mengenai alasan perbuatan hukum yang dilakukan tersebut menjadi batal demi hukum juga dapat disimak dalam artikel “Hukumnya Menghibahkan Harta Bersama Tanpa Persetujuan Istri.” Disarikan dari artikel tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum karena perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Dalam hal ini, suami dikatakan sebagai pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum karena perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa persetujuan istri.

Masih dari sumber yang sama, Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam buku Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal.12-13) menegaskan, perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum.

Karena batal demi hukum, maka konsekuensinya maka perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal dan keadaan kembali seperti semula.

Oleh karenanya, dari sisi penjual properti, untuk mengantisipasi permasalahan hukum semacam ini di kemudian hari sebagaimana telah diterangkan di atas, maka penjual harus memastikan bahwa si pembeli yang telah menikah memenuhi persyaratan dokumen, di antaranya:

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan istri;

b. Fotokopi Kartu Keluarga;

c. Fotokopi Akta Nikah;

d. Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh suami/istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB).

Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Dalam hal penjual telah mempersyaratkan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan AJB, dan suami yang bersangkutan telah melampirkan dokumen yang dipersyaratkan tersebut sehingga jual-beli properti dapat dilakukan tanpa sepengetahuan istri, maka patut diduga sang suami telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

Untuk dapat dijerat Pasal 263 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) menjelaskan, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:

  1. Dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya;
  2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya;
  3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau
  4. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi.

Dengan demikian, apabila suami telah memalsukan surat persetujuan istri untuk membeli dan menghibahkan properti, maka perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana pemalsuan surat.

Tags:

Berita Terkait