Ikhtisar Pandangan Para Ahli tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam

Ikhtisar Pandangan Para Ahli tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam

KHI bukanlah jenis peraturan perundang-undangan, tetapi tetap dapat dirujuk hakim dalam mengadili dan memutus perkara-perkara perkawinan, waris, dan wakaf orang-orang yang beragama Islam.
Ikhtisar Pandangan Para Ahli tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam

Apakah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dikualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan? Jika tidak, bagaimana legalitasnya jika dipergunakan hakim sebagai rujukan ketika memutus suatu sengketa atau permohonan? Mengingat dasar pemberlakuannya hanya Instruksi Presiden, apakah isinya dapat mengikat orang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi diskursus selama bertahun-tahun.

Memang, penelitian Noryamin Aini (2002) mengungkapkan 35,5 persen hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengutip KHI sebagai rujukan memutus perkara. Rentang waktu penelitiannya 1995-1998, tetapi Aini mencatat kecenderungan peningkatan penggunaan KHI oleh hakim pada tahun-tahun yang diteliti. Pengutipan KHI masih lebih tinggi dibandingkan merujuk pada kitab kuning yang lazim dipakai para ulama, yakni 32,7 persen dari 110 dokumen putusan yang diteliti. Meskipun ini penelitian lama, faktanya hingga kini, hakim-hakim yang bertugas mengadili dan memutus perkara di lingkungan Peradilan Agama masih merujuk KHI.

Ahmad Tholabi Kharlie, akademisi UIN Syarief Hidayatullah, yang mengutip penelitian Aini tersebut, menyatakan ada kesan KHI masih berperspektif patriarkis atau kesan bias gender. Meskipun demikian, ia tak menutup mata terhadap beberapa ketentuan yang sudah cukup baik merespons kondisi perempuan di Indonesia. Tholabi memberi contoh Pasal 105 dan Pasal 171 KHI. Pasal 105 mengatur tentang hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau yang belum berusia 12 tahun oleh ibunya, hak opsi anak setelah lewat masa mumayyiz, dan biaya pemeliharaan anak oleh ayahnya. Meskipun demikian, ketentuan ini tetap dapat disimpangi secara kasuistis (lihat misalnya putusan MA No. 59 PK/AG/2016).

Pasal 171 mendefinisikan ahli waris sebagai orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Tholabi mencatat dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia (2019), setelah kehadiran KHI, para hakim Pengadilan Agama mempunyai paradigma baru dalam memutus perkara. Ketentuan yang lebih adil bagi perempuan dalam KHI seyogianya tak dapat dilepaskan dari kajian kontekstual historis sosiologis kala itu.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional