Implementasi Tax Amnesty Terbentur UU Perbankan dan UU Perpajakan
Berita

Implementasi Tax Amnesty Terbentur UU Perbankan dan UU Perpajakan

Sehingga, perlu revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang disusul dengan UU Perbankan.

NNP
Bacaan 2 Menit
Seminar RUU Pengampunan Pajak di Jakarta. Fot: RES
Seminar RUU Pengampunan Pajak di Jakarta. Fot: RES

Era Sistem Pertukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoI) antarnegara secara global resmi dimulai pada tahun 2018. AEoI sendiri merupakan sistem yang mendukung pertukaran informasi rekening wajib pajak antarnegara. Lewat sistem ini, wajib pajak yang membuka rekening di negara lain akan langsung terlacak oleh otoritas pajak negara asal.

Dengan sistem ini, otoritas pajak negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI (DJP Kemenkeu) akan semakin dipermudah dalam mencegah praktek transfer pricing atau praktik penghindaran pajak dengan cara mengalihkan atau menurunkan nilai penjualan dengan tujuan keuntungan akan terlihat tipis sehingga bisa mengurangi pembayaran pajak. Momentum inilah yang dimanfaatkan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

“Era keterbukaan informasi tahun 2018 nanti otoritas pajak bisa akses data di seluruh dunia,” ujar Bambang dalam Seminar Nasional “RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dan Manfaatnya bagi Bangsa” di Jakarta, Jakarta (5/4).

Lebih lanjut, Bambang mengatakan, Pemerintah dan DPR tak boleh menyia-nyiakan momentum implementasi dari AEoI itu. Sebab, beberapa negara termasuk Indonesia akan mengadopsi lebih awal sistem tersebut, tepatnya pada September tahun 2017 nanti era keterbukaan informasi akan dimulai. Sehingga, kebijakan yang saat ini tertuang dalam RUU Pengampunan Nasional atau yang lebih dikenal dengan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) diharapkan bisa segera dirampungkan.

Namun, problem yang dihadapi oleh Bambang tak cuma soal belum rampungnya pembahasan RUU Tax Amnesty tersebut. Ia mengungkapkan dua hambatan lainnya yang sangat krusial terkait dengan upaya DJP Kemenkeu dalam mengejar pendapatan dari penerimaan pajak dalam momentum AEoI.

Pertama, terkait dengan ketentuan kerahasian perbankan dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan mengatur tentang kewajiban Bank dalam merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun, untuk beberapa hal dikecualikan kewajiban kerahasiaan tersebut yang salah satunya terkait kepentingan perpajakan.

Bagi Bambang, ketentuan tersebut menghambat implementasi Tax Amnesty dan pemberlakuan AEoI dimana pada masa ini sistem keterbukaan juga akan diberlakukan terhadap data perbankan. “Masalahnya kita masih terkendala kerahasiaan perbankan,” sambungnya.

Makanya, Bambang berharap setelah RUU Tax Amnesty rampung dan disahkan, undang-undang lain yang mesti dilakukan revisi dalam konteks ini adalah UU Perbankan. Pasalnya, Sistem yang disepakati dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Turki tahun 2015 silam itu berimplikasi juga terhadap keterbukaan akses perbankan dan seluruh lembaga keuangan yang akan sangat membantu mencegah terjadinya praktik transfer pricing yang selama ini terjadi.

Kedua, terkait dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sama halnya dengan UU Perbankan, Bambang menilai sejumlah ketentuan dalam UU KUP mesti dilakukan revisi guna mendukung implementasi pelaksanaan Tax Amnesty ketika era AEoI khususnya terkait dengan tarif dalam Pajak Penghasilan (PPh). “Mesti juga revisi UU KUP agar tarif lebih kompetitif terutama untuk badan dan orang,” sebutnya.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI Airlangga Hartarto optimis pihaknya akan segera merampungkan RUU Tax Amnesty. Ia menilai, paling tidak dibutuhkan dua masa sidang lagi agar RUU Tax Amnesty ini bisa segera dirampungkan atau pada kuartal III tahun 2016. Politisi Partai Golkar itu mengatakan bahwa yang saat ini tengah dilakukan adalah menyerap aspirasi dari berbagai pihak (stakeholder) agar ke depan undang-undang ini bisa diimplementasikan dengan baik.

“Kita masih menyerap aspirasi masyarakat sehingga dialog dengna masyarakat sebanyak-banyaknya penting,” kata Airlangga.

Terkait dengan revisi UU Perbankan dan UU KUP, ia menegaskan bahwa DPR akan mempercepat pembahasan revisi terhadap dua undang-undang tersebut, setidaknya sebelum tahun 2018. Terkait dengan revisi UU KUP, ia mengungkapkan akan merevisi sejumlah poin, antara lain soal tarif, insentif penurunan pajak yang dibedakan antara wajib pajak yang  taat pajak dengan yang tidak taat pajak sekaligus revisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Makanya sesudah ini  RUU Tax Amnestu selesai. Selanjutnya langsung UU KUP harus diperbaiki baru UU Perbankan. Kalau tidak nanti akan tabrakan. Ini harus di speed up sebelum tahun 2018,” tutupnya.

Tingkatkan Likuiditas
Bambang mengatakan, Tax Amnesty merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan perekonomian Indonesia. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang ‘senyap’, ia yakin dengan RUU Tax Amnesty akan menjadi salah satu instrumen penting dalam rangka lebih mengoptimalkan pertumbuhan perekonomian nasional.

Argumentasi yang dipakai Bambang berangkat dari isu likuiditas dengan asumsi nilai aset yang besar dari wajib pajak yang dalam konteks ini masih ‘diparkir’ di luar negeri akan ditarik ke dalam negeri. “Ini salah satu cara ekonomi di Indonesia bisa tumbuh lebih optimal,” kata Bambang.

Penarikan aset yang belum dilaporkan pajaknya oleh wajib pajak dari luar negeri tersebut diyakini akan mendongkrak APBN. Sehingga, tingkat likuiditas di Indonesia akan meningkat. Bagi Bambang, kondisi yang seperti itu menggambarkan bahwa Tax Amnesty ibaratnya seperti pelumas perekonomian di dalam negeri. Makanya, ia mendorong agar wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya segera melaprokan dan menarik sejumlah uang yang saat ini masih ‘diparkir’ di luar negeri.

“Daluarsa pajak itu lima tahun masanya. Dengan Tax Amnesty, itu akan ‘diputus’. Ini kesempatan yang baik buat semua orang,” sambungnya.

Bambang tak menampik jika Tax Amnesty dianggap sebagian kalangan sebagai ‘jalan pintas’ atau shortcut pihak Pemerintah dalam mengejar penerimaan dari sisi pajak. Namun, ia memastikan bahwa kebijakan pengampunan ini sebagai salah satu terobosan dari Pemerintah. Sebab, nantinya akan dibuat kebijakan lain yang lebih komprehensif guna mengejar penerimaan dari pajak.   

“Tax Amnesty ini ibaratnya sebagai pelumas perekonimian. Yang dikejar itu adalah aset yang belum dilaporkan. Bukan terkait dengan income seperti dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Aset adalah akumulasi income jadi nilainya jauh lebih besar. Potensinya itu dari perhitungan kasar kami lebih besar dari GDP kita atau lebih dari 11.400 Triliun,” terangnya.

Sementara itu, Ketua BPK RI Harry Azhar Azis mengatakan, di awal-awal implementasi undang-undang ini akan ada keragu-raguan, baik keraguan dari masyarakat serta keraguan pihak yang menaruh sejumlah dana di luar negeri untuk menaruh atau menarik dananya kembali ke Indonesia. Namun, ia memastikan bahwa ada banyak manfaat ketika undang-undang ini bisa diimplementasikan terutama terkait dengan fungsinya dalam menopang keuangan negara ketika dalam kondisi defisit.

“Pasti ada keraguan diawal-awal pelaksanaan RUU Tax Amnesty nanti. Secara pribadi, saya sangat mendukung RUU Tax Amnesty ini. Ini bisa sebagai pembiayaan ketika keuangan negara defisit,” ujar Harry.

Lebih lanjut, Harry mengungkapkan bahwa ketika ia masih sebagai anggota Pansus Paket RUU Perpajakan (KUP, PPh, dan PPn/BM) Komisi XI DPR RI, wacana Tax Amnesty telah muncul sekira tahun 2007. Ketika itu tengah dilakukan pembahasan terkait UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), dimana salah satu hal yang mengemuka adalah terkait dengan pengampunan pajak. Bahkan, hal tersebut sempat dibahas dalam pansus yang sayangnya kerena hal tertentu tidak dilanjutkan kembali pembahasannya. 

Senada dengan Harry, Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng juga mendukung agar RUU Tax Amnesty ini segera disahkan oleh DPR. Alasannya, dengan undang-undang ini diharapkan perekonomian di Indonesia bisa lebih optimal dengan catatan sejumlah uang yang ‘ditarik’ dari luar negeri dan kembali ke Indonesia bisa memperbaiki likuditas perekonomian. Asumsinya, ketika likuiditas terjaga, ia yakin perekonomian lebih mudah bertumbuh dan berjalan optimal.

“Ribuan triliunan uang di luar negeri kalau masuk ke Indonesia bisa bantu perekonomian dan memperkuat APBN masa datang dan perbaiki postur APBN. Tax Amnesty jadi bagian penting dalam hal ini. DPR segera bahas dan libatkan masyarakat, sehingga kecil kemungkinan akan adanya gugatan di MK nantinya,” ujar Melchias yang juga Penasehat Lembaga Kajian dan Aksi Kebangsaan (LKAK) ini.
Tags:

Berita Terkait