Ini Alasan Buruh Minta UU PPHI Dirombak Total
Berita

Ini Alasan Buruh Minta UU PPHI Dirombak Total

Perlu dibentuk lembaga baru menggantikan pengadilan hubungan industrial (PHI) yang tidak bersifat yudikatif lagi.

ADY
Bacaan 2 Menit

Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI),Subiyanto, mengatakan usulan organisasinya terhadap revisi UU PPHI tidak jauh beda dengan tuntutan KSPI. Ia pun menyebut KSPSI telah membentuk tim kecil untuk membuat draft sandingan revisi UU PPHI. “Peradilan harus menjadi benteng terakhir bagi buruh untuk mencari
keadilan,” ujarnya.

Subiyanto menilai, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrialyang diatur UU PPHI tidak mampu mewujudkan proses yang  cepat, tepat, adil dan murah. Menurutnya, persidangan PHI dianggap sebagai anak tiri, sebab ketua majelis baru bersidang di PHI setelah menggelar sidang di pengadilan umum.

Dosen hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, HadiSubhan, mencatat paling tidak ada tiga persoalan dalam UU PPHI. Pertama, secara filosofis UU PPHI menggeser paradigma penyelesaian masalah hubungan industrial dari ranah publik ke privat. Akibatnya, tidak ada perlindungan pemerintah terhadap buruh dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Subhan berpendapat, PHI harusnya bertindak sebagaimana peradilanperburuhan yang merupakan sarana bagi buruh untuk mencari keadilan. Ia menyebut pengadilan yang menggunakan paradigma publik yaitu PTUN. Di PTUN hanya rakyat yang dapat menggugat, sedangkan pejabat negara tidak. Namun di PHI, pengusaha bisa menggugat buruh.

Kemudian, hakim PTUN akan memeriksa gugatan yang diajukan, ketika adakesalahan maka majelis mengarahkan agar rakyat selaku penggugat melakukan perbaikan gugatan sampai benar. Tapi di PHI, dikatakan Subhan, hakim tidak mengingatkan buruh jika gugatannya ada kesalahan sehingga dalam putusannya hakim menyatakan gugatan itu tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).

Kedua, Subhan melanjutkan, PHI cacat secara yuridis karena dilahirkanbukan lewat UU, tapi pembentukan PHI ada di dalam UU. Ia mengatakan, mestinya PHI tidak diberlakukan sebelum dibentuk melalui UU, hal itu seperti yang pernah terjadi ketika pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Ketiga, ada masalah praktik dalam UU PPHI. Misalnya, bagaimana caramelaksanakan putusan. Subhan mencatat persoalan itu kerap terjadi dalam implementasi UU PPHI. Ia melihat majelis hakim jarang sekali memasukan uang paksa (dwangsom) dalam putusannya. Sehingga, tidak ada sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan putusan. Buruh selalu dirugikan akibat masalah tersebut.

Jika buruh menginginkan lembaga baru menggantikan PHI tapi sifatnyabukan peradilan (yudikatif) dan bukan institusi pemerintahan (eksekutif) maka bisa menggunakan kuasi peradilan (quasi rechtspraak) atau badan pengadilan administratif semu. Bisa saja kuasi peradilan itu dibentuk dua tingkatan, untuk tingkat pertama ada di daerah seperti kabupaten/kota. Kemudian tingkat kedua bisa dibentuk di pusat.

Setelah kuasi peradilan menerbitkan putusan, menurut Subhan, mekanismeselanjutnya yang perlu diatur yakni mendaftarkan putusan itu ke pengadilan umum. Sehingga pengadilan bisa melakukan eksekusi jika putusan kuasi peradilan itu tidak dijalankan. “Lembaga (peradilan) kuasi ini harus dibentuk lewat UU,” paparnya.

Anggota Komisi IX Fraksi Nasdem, Irma Chaniago, mengatakan Komisi IXsudah mendapat draft revisi UU PPHI. Ia memperkirakan draft itu akan dibahas oleh Komisi IX dalam tiga kali pertemuan. Setelah itu pembahasan akan melibatkan pemangku kepentingan seperti pemerintah, serikat buruh dan asosiasi pengusaha. “Saya akan kawal agar revisi UU PPHI bisa selesai akhir 2015,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait