Jangan Karena Emosional Perppu Kebiri Diterbitkan
Berita

Jangan Karena Emosional Perppu Kebiri Diterbitkan

Dinilai bersifat sementara. Banyak hal yang mesti dipertimbangkan sebelum menerapkan hukuman kebiri.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HLM
Ilustrasi: HLM
Polemik wacana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan (Perppu) yang mengatur hukuman kebiri mengundang pro kontra di tengah masyarakat. Pemberatan sanksi dengan hukuman kebiri yang dituangkan dalam Perppu dinilai hanyalah bentuk emosional. Padahal, regulasi yang dibuat berlandaskan rasionalitas.

“Jangan emosional, harus berlandaskan prinsip-prinsip hak assi manusia. Iya (Perppu ini, red) sumbu pendek,” ujar anggota Komisi VIII DPR, Maman Imanul Haq, di Gedung DPR, Selasa (17/5).

Maman berpandangan, keinginan pemerintah menerbitkan Perppu mestinya dibicarakan terlebih dahulu ke banyak pihak. Meski Perppu menjadi ranah kewenangan presiden, namun tetap tidak mengabaikan kelompok masyarakat lain. Maman menghargai munculnya wacana Perppu sebagai bentuk respon positif pemerintah menyikapi berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dan perempuan dewasa.

Sayangnya, muncul pemberatan hukuman terhadap predator dengan cara kebiri melanggar prinsip hak asasi manusia. Banyak hal yang mesti diperbaiki, tak saja aspek penindakan dan penghukuman, namun terpenting adalah upaya pencegahan. Pertimbangan lain adalah mekanisme seperti apa pemberian hukuman kebiri tersebut. Selain itu, ada tidaknya anggaran dalam pelaksanaan hukuman kebiri. Misalnya, dana peruntukkan alat suntik, dan cairan sebagai media kebiri. Tak kalah penting, mesti dipikirkan efek negatif dari penghukuman kebiri.

“Bahwa orang-orang yang dikebiri itu nanti justru kalau dia keluar dari penjara akan lebih ganas. Yang dihukum itu perilaku seksual, bukan hasrat seksual. Sedangkan kebiri itu membunuh hasrat seksual,” ujarnya.

Anggota Komisi III Junimart Girsang berpandangan, Perppu merupakan aturan mendesak. Ia menilai hukum tak dapat mengejar masyarakat yang kian dinamis. Makanya, Perppu mesti diterbitkan untuk mengatasi adanya kekosongan sanksi pemberatan hukuman. “Yang jadi pertanyaan, apa saja isi Perppu itu. Kalau saya ditanya tentang hukuman kebiri, saya menolak,” ujarnya.

Menurut Junimart, memasukkan hukuman kebiri dalam hukum positif sama halnya kembali ke era jaman romawi. Atas dasar itu, hukuman kebiri dinilai melanggar hak asasi manusia. Junimart berpandangan sanksi hukuman tak boleh merusak organ tubuh seseorang. Namun demikian, saksi dengan hukuman pemenjaraan mesti maksimal.

“Tapi kalau saya, hukuman minimal 20 tahun. Selain Perppu ini berlaku, harus diimbangi dengan pengodokan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sambil menunggu Perppu itu untuk menampung saja agar tidak terjadi kekosongan hukum,” ujarnya.

Anggota Komisi VIII lainnya, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menilai kebijakan hukuman kebiri bukanlah solusi terbaik dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ia menilai hukuman kebiri terkesan kuat, namun terdapat ketidakcermatan rencana pemerintah tersebut. Sebab, pemerintah beranggapan bahwa kejahatan seksual sebagai bentuk perilaku seksual yang melanggar hukum pasti diawali oleh motif seksual.

Sara menjelaskan, teori yang dianut pemerintah adalah motif seksual linear semata dengan perilaku jahat seksual. Faktanya, sebagaimana pada aksi-aksi kejahatan seksual pada umumnya, kejahatan seksual terhadap anak motif pelaku pun sesungguhnya adalah kontrol dan penguasaan.

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat kastrasi hormonal yang dinilai dapat mematikan libido seksual bagi para predator seksual ternyata tidak demikian halnya. Pasalnya, perasaan negatif para pelaku kejahatan seksual anak tetap hidup. "Namun justru kastrasi hormonal dapat memperberat tingkat kebahayaan si predator, karena pengebirian merupakan perlakuan yang bertolak belakang dengan kebutuhan predator akan kontrol dan penguasaan," imbuh Sara.

Alih-alih menghilangkan perilaku keji predator seksual, kastrasi hormonal justru berpotensi kuat melipatgandakan kecenderungan pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi residivis. Atas dasar itulah Sara mendesak pemerintah agar tidak mengedepankan emosional semata dalam pembuatan peraturan dalam Perppu yang mengatur hukuman kebiri tersebut.

Percepat masuk daftar prolegnas prioritas
Daripada menerbitkan Perppu, sebagian kalangan DPR mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2016 dengan nomor urut 164. Dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang ke V, Maman Imanul Haq meminta agar Baleg segera memasukkan RUU tersebut dalam urutan lima besar daftar prolegnas prioritas dan segera dilakukan pembahasan. Meski demikian, ia sendiri mengaku mendukung jika akhirnya pemerintah menerbitkan Perppu Kebiri.  

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berpandangan DPR, pemerintah dan kelompok masyarakat mesti duduk bersama membahas hal yang menjadi perlindungan anak untuk segera direvisi. Selain RUU PKS, UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga mesti direvisi beserta peraturan menteri lainnya. “Jadi integralistik, tidak parsial. Jadi tidak sekadar kita butuh payung hukum, kemudian implementasinya lemah,” ujarnya.

Anggota Komisi II Ammy Amalia Fatma Surya berpandangan, kekerasan seksual terhadap anak dan wanita dewasa merupakan kejahatan luar biasa. Itu sebabnya penangananya pun tak dapat menggunakan KUHP. Ia menilai perlunya aturan khusus dengan adanya pemberatan hukuman. Tak hanya itu, RUU tersebut mengatur mekanisme pencegahan, dan terpenting rehabilitasi terhadap hak korban.

“Jadi mohon bisa dimasukkan dalam daftar Prolegnas prioritas 2016,” pungkas politisi PAN itu.

Tags:

Berita Terkait