JPU Kasus Puteh: PMH Korupsi Bukan Beleids Vrijheid
Berita

JPU Kasus Puteh: PMH Korupsi Bukan Beleids Vrijheid

Makna perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam kasus korupsi telah menimbulkan perbedaan pendapat dalam pertemuan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi di Surabaya, pekan lalu.

Mys
Bacaan 2 Menit
JPU Kasus Puteh: PMH Korupsi Bukan <i>Beleids Vrijheid</i>
Hukumonline

 

Dengan kata lain, tim penasehat hukum ingin mengatakan perbuatan terdakwa bukan PMH dalam konteks hukum pidana, melainkan masih dalam lingkup kebebasan membuat kebijakan oleh seorang pejabat negara (beleids vrijheid) alias discretionary power.

 

Namun, dalam jawabannya terhadap pledoi tim pengacara Puteh, Senin (21/3) lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Khaidir Ramli menganggap pemikiran semacam itu tidak benar dan seharusnya ditolak.

 

Dalam konteks tindak pidana korupsi, maka makna PMH harus dipandang dari pemikiran yang dianut oleh Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo No. 20 Tahun 2001).

 

Menurut Ramli, korupsi adalah PMH yang memenuhi kualifikasi yuridis. Ia khawatir jika seluruh PMH yang dilakukan pejabat negara dikualifisir dalam lingkup beleids vrijheid, dampaknya luar biasa. Seluruh tersangka korupsi ketua dan anggota DPRD akan bebas karena secara administratif mereka berwenang menyusun Perda.

 

Faktanya, papar Ramli, pengadilan telah menghukum sejumlah pimpinan dan anggota DPRD. Vonis semacam itu dapat diartikan bahwa hakim menilai bahwa dalam penyusunan Perda sekalipun bisa terjadi PMH dengan kualifisir pidana korupsi. Jadi, bukan semata-mata tindakan administrasi.

 

Kalaupun PMH yang dilakukan seorang pejabat negara, Puteh misalnya, tetap dipandang masuk ruang lingkup hukum administrasi negara, perbuatan (daad) itu sendiri justeru bertentangan dengan salah satu asas hukum administrasi, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Asas itu jelas tercantum dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

Ihwal perbedaan pendapat itu bermuara pada pertanyaan: apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan pejabat negara murni tindak pidana (korupsi) atau merupakan beleid atau kebijakan administratif?

 

Dalam praktek pengadilan, acapkali ahli pidana menganggap perbuatan melawan hukum yang dituduhkan jaksa merupakan suatu beleid administrasi alias kebijakan sebagai pejabat negara. Sehingga, perbuatan melawan hukum (PMH) itu harus dilihat dari sudut pandang hukum administrasi negara, dan tentu saja tidak bisa dipidana.

 

Rupanya, pendapat yang disebut terakhir digunakan kuasa hukum Abdullah Puteh sebagai salah satu alasan untuk meloloskan Gubernur Aceh non aktif itu lolos dari jerat delik korupsi. Perdebatan ‘panas' para ahli hukum pidana dan kriminologi di Surabaya pekan lalu, berpindah ke Gedung Uppindo di Kuningan.

 

Tim penasehat hukum Abdullah Puteh memang menyatakan seluruh perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan kebijakan atau beleid pemerintahan yang termasuk dalam wilayah hukum administrasi negara. Perbuatan administratif yang dilakukan Puteh itu antara lain mulai dari gagasan pembelian helikopter, penggunaan anggaran dan sumber dana pembelian, proses pembelian helikopter, hingga penunjukan langsung PT Putra Pobiagan Mandiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags: