Kajian Ini Simpulkan Abu Batu Bara Masuk Kategori Limbah B3
Utama

Kajian Ini Simpulkan Abu Batu Bara Masuk Kategori Limbah B3

Pemerintah perlu mengembalikan pengaturan hasil pembakaran batu bara, seperti termuat dalam PP No.101 Tahun 2014 yakni abu batu bara masuk kategori limbah B3. Selain itu, melakukan analisis risiko dan biaya-manfaat mencakup juga biaya kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Hal ini mengindikasikan tidak semua timbulan abu diawasi KLHK. Selama ini tidak ada hasil pengukuran air tanah, peta kontaminasi, evaluasi hasil uji toksisitas selain data 19 PLTU yang bisa diakses publik. Menurut Quina, KLHK seharusnya punya data yang cukup untuk menjelaskan dampak abu hasil pembakaran batu bara itu. “Tapi sayangnya tidak ada data yang bisa diakses publik,” kata Margaretha.

Kedua, menurut Quina, studi mengenai kontaminasi lingkungan, risiko kesehatan dan jalur pemajanan dari fly ash dan bottom ash (FABA) hasil pembakaran batu bara hampir tidak ada. Penegakan pidana tidak diikuti studi kontaminasi atau dampak kesehatan. Padahal berbagai negara telah menunjukkan bahaya kontaminasi dari berbagai alur pajanan abu. Misalnya, hasil pemantauan pemanfaatan air tanah di Amerika Serikat menunjukkan 91 persen air tanah melampaui standar air minum aman dan 21 kasus kontaminasi sumur pribadi akibat abu. Kemudian kontaminasi abu batu bara di Belews Lake, Amerika Serikat, membunuh 19 dari 20 spesies ikan di danau seluas 3.800 hektar itu.

Ketiga, sejak 1994 Indonesia mengatur abu batu bara sebagai limbah B3. Quina yakin ketentuan itu berhasil mencegah bencana industrial akibat abu batu bara seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat, India, dan Australia. Tapi sayangnya PP No.22 Tahun 2021 menghapus ketentuan itu dan menggolongkan abu batu bara sebagai limbah non-B3. Selain itu, ada beberapa aturan yang dihapus PP No.22 Tahun 2021 seperti batas waktu maksimum penyimpanan sementara; ketelusuran abu, terutama dalam pengangkutan; dan persyaratan tingkat radioaktivitas abu yang dapat dimanfaatkan.

Keempat, PP No.22 Tahun 2021 mempermudah semua jenis pengelolaan baik pemanfaatan maupun penimbunan akhir. Konsekuensinya, aturan ini memberi sinyal kepada pengelola abu untuk menggunakan metode pembuangan yang paling murah dan berisiko. Misalnya, sebagai bahan urug, bahan pembenah tanah atau vermikompos, dan pengelolaan air limbah.

Kelima, PP No.22 Tahun 2021 tidak menjelaskan kapan pengelola dapat membuang abu di tempat penimbunan akhir atau membuangnya di lubang bekas tambang. PP ini juga tidak melarang pembuangan abu dengan metode penimbunan di permukaan (surface impoundment).

“Unsur yang ada dalam abu semakin beracun ketika terkena air, tapi dalam PP No.22 Tahun 2021 tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut,” paparnya.

Berdasarkan kajian tersebut, Quina merekomendasikan pemerintah untuk meminimalisir timbulan abu. Upaya itu bisa dilakukan antara lain dengan transisi ke energi terbarukan. Limbah hasil pembakaran batu bara harus dikembalikan pengaturan sebelumnya yakni masuk dalam kategori limbah B3. Selain itu, melakukan analisis risiko dan biaya-manfaat mencakup juga biaya kesehatan.

Tags:

Berita Terkait