Kampung Terkurung Tembok, Warga Layangkan Gugatan
Utama

Kampung Terkurung Tembok, Warga Layangkan Gugatan

Untuk keluar kampung, warga harus menuruni tangga dari gundukan tanah setinggi tiga meter dengan kemiringan 75 derajat. Itu pun dibuat atas inisiatif warga.

Mon/IHW
Bacaan 2 Menit
Kampung Terkurung Tembok, Warga Layangkan Gugatan
Hukumonline

 

Dalam gugatannya, Kisin Miih, Jakaria dan Rizal berperan sebagai wakil kelas. Masing-masing sebagai penggugat I, II dan III. Selain itu, Yayasan Uni Lengkong Pelangi Integralistik turut menjadi penggugat IV. Yayasan itu mengaku memiliki legal standing alias kedudukan hukum sesuai dengan UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup untuk melestarikan lingkungan.

 

Gugatan itu ditujukan ke PT Smart Telecom, PT Bumi Serpong Damai, PT Supra Veritas dan Pemerintah Kota Tangerang, masing-masing sebagai Tergugat I, II, III dan IV. Model gugatan class action dipilih karena para penggugat memiliki kesamaan fakta. Yakni kesamaan memiliki hak servituut (hak pekarangan) atas jalan untuk kepentingan umum dan kesamaan kepentingan untuk mendapatkan kembali hak servituut itu. Gugatan ini bukan untuk kepentingan saya sendiri tapi untuk kepentingan warga lain yang silent majority, ujar Rizal.

 

Langgar Hak Servituut

Para tergugat dinilai melanggar hak servituut para penggugat. Pasalnya, pagar BSD dan Smart Telecom berdiri diatas jalan yang merupakan jalan satu-satunya untuk masuk dan keluar ke rumah para penggugat. Menurut Budi Setiawan hak servituut tidak akan berakhir dengan cara apapun dan tetap melekat pada tanah tersebut. Siapapun pemiliknya.

 

Berdasarkan Pasal 674 KUHPerdata pemilik tanah yang melekat hak servituut harus membiarkan publik melintasi tanah itu, mengalirkan air diatasnya, melepaskan pandangan keluar lewat udara diatasnya. Meskipun pemilik tanah meninggal atau berganti pemilik, hak publik atas tanah itu tidak bisa hilang.

 

Pemda Tangerang dinilai melakukan pembiaran terhadap tindakan Smart dan BSD yang menutup akses jalan itu. Pemda juga dinilai diskriminatif karena tetap memberikan fasilitas servituut bagi penduduk lain yang berdekatan dengan BSD.

 

Setelah gagal mediasi, persidangan perkara kembali digelar pada Kamis (2/4). Dalam persidangan itu, majelis hakim yang diketuai Sugeng Riyono serta beranggotakan Panji Widagdo dan Reno Listowo memerintahkan para tergugat untuk menanggapi formalitas gugatan penggugat. Sesuaikan dengan Perma dan teori hukum tentang class action, ujarnya.

 

Saat diminta konfirmasi, Kuasa hukum BSD dan Smart Telecom Rio Naro Hutagalung menyatakan belum bisa memberikan tanggapan terhadap pokok perkaranya. Sebab majelis hakim masih memberi kesempatan untuk menanggapi formalitas gugatan. Nanti kalau sudah diterima majelis hakim, baru kami akan menanggapi perkaranya, ujarnya via telepon, Kamis (2/4).

 

Rio menjelaskan mediasi gagal lantaran tawaran penggugat yang menawarkan 12 alternatif jalan pembuka tidak bisa diterima. Sebab, tanah itu bukan jalan desa, tapi tanah warga yang selama ini dijadikan jalan. Sementara ada beberapa warga yang sudah menjual tanahnya ke Smart Telecom.

 

Selain itu, lanjut Rio, pengembang BSD sudah kadung menjanjikan fasilitas sistem cluster kepada konsumennya sehingga tidak bisa membuka akses jalan lain. Kalau jalannya dibuka, nanti kita digugat oleh pembeli rumah, imbuhnya.

Anda tentu tak asing mendengar nama komplek perumahan Bumi Serpong Damai (BSD). Bukan rahasia lagi kalau perumahan yang terletak di Selatan Jakarta itu makin berkembang. Tapi siapa sangka di tengah hiruk-pikuk pembangunan perumahan BSD, ada perumahan penduduk yang terisolir. Letaknya di Kampung Lengkong Gudang, Serpong, Tanggerang. Warga yang hidup di tanah seluas 3500 m2 itu terjepit diantara komplek perumahan BSD dan pabrik PT Smart Telecom.

 

Sejak 2006, penduduk Kampung Lengkong Gudang harus hidup dalam kepungan pagar pembatas BSD dan pabrik PT Smart. Padahal pagar itu terletak di jalan desa Lengkong Gudang dan Rawabuntu. Walhasil, untuk keluar kampung, penduduk harus menuruni tangga setinggi 3 meter dengan kemiringan 75 derajat. Tangga itu berupa undakan tanah yang dibuat swadaya oleh penduduk Lengkong Gudang.

 

Saya harus bawa sepatu dua kalau ke kantor, kan nggak enak kalau ke kantor sepatunya kotor, ujar Rizal Sofyan yang berkantor di Mahkamah Konstitusi. Penduduk lain bahkan harus kehilangan mata pencaharian. Usaha angkot yang dirintisnya harus ditutup karena tak ada akses angkot untuk keluar masuk ke rumahnya.

 

Saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (2/4), Rizal menerangkan warga Kampung Lengkong Gudang telah mengusulkan 12 jalan alternatif agar desa tersebut bisa mempunyai akses keluar. Namun usulan itu tidak digubris. Melalui kuasa hukumnya, Budi Setiawan, warga melayangkan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat awal Desember 2008 lalu.

Tags: