Fiksi hukum merupakan asas yang memberikan anggapan semua orang tahu hukum atau presumptio iures de iure. Asas ini lantas melahirkan sejumlah tantangan tersendiri berupa kekakuan, kesenjangan pengetahuan, dan kurangnya kesadaran publik. Belum lagi di tengah gempuran pertumbuhan pesat dunia teknologi juga berimbas pada pendekatan konvensional tidak lagi efektif.
“Permasalahan peraturan di Indonesia bukan sesuatu yang bisa di-solve dengan cara konvensional lagi. Harus pakai teknologi. Untuk ke depan, pemanfaatan Regtech (Regulatory Technology) bakal banyak lebih sering ditemukan, khususnya di Indonesia,” ujar Chief Executive Officer Hukumonline Arkka Dhiratara dalam acara Hukumonline Sharing Session Program Studi Ilmu Hukum President University, Rabu (5/6/23).
Baca Juga:
- Mensesneg Sarankan Fakultas Hukum Adopsi Regtech-Legal Tech
- Perjalanan Hukumonline Mudahkan Akses Terkait Regulasi Hukum
- Urgensi Penerapan RegTech dan SupTech pada Industri Fintech
Meski sekilas nampak serupa, Arkka menjelaskan Regtech dan Legaltech merupakan dua ujung spektrum yang mencakup seluruh ekosistem regulasi, kepatuhan, dan pekerjaan hukum. Secara singkat, Regulatory Technology (Regtech) dapat diartikan sebagai platform baru yang menggabungkan regulasi dengan teknologi untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap regulasi yang semakin kompleks di berbagai industri.
Arkka Dhiratara menyampaikan materi dalam acara Hukumonline Sharing Session Program Studi Ilmu Hukum President University.
Dalam pandangan supply chain terhadap regulasi dan legal, Regtech meliputi pemerintah dan regulator. Dalam hal ini seputar peraturan perundang-undangan maupun penegakan hukum. Sedangkan untuk Legaltech lebih kepada perusahaan (B2) dan masyarakat (B2C).
Setidaknya terdapat 7 kategori utama dari Regtech. Antara lain verifikasi, pelaporan, pengambilan data dan interogasi, monitoring, analisis risiko, analisis dan pelatihan terhadap regulasi, serta general complience. Ketujuh kluster yang disebutkan itu menjadi perhatian penting dalam hal kategori Regtech.