Keras! UII Kutuk Praktik Pengangkangan Hukum di Indonesia
Terbaru

Keras! UII Kutuk Praktik Pengangkangan Hukum di Indonesia

Praktik berbangsa dan bernegara saat ini dinilai telah menghadirkan perselingkuhan antarpenguasa yang melahirkan oligarki dan menumbuhsuburkan fenomena kolusi dan nepotisme. Akhirnya, rakyat hanya menjadi objek pelanggeng kekuasaan yang tidak dihargai martabatnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Universitas Islam Indonesia (UII). Foto: Istimewa
Universitas Islam Indonesia (UII). Foto: Istimewa

Universitas Islam Indonesia (UII) mengeluarkan pernyataan sikap terkait praktik berbangsa dan bernegara yang terlihat di muka publik belakangan ini. Dalam pernyataan tertulis yang diterima oleh Hukumonline, Rektor UII Fathul Wahid menegaskan pihaknya mengutuk berbagai upaya pengangkangan hukum dalam segala bentuk yang mengabaikan kemaslahatan bangsa dan negara. 

Menurut Fathul, hukum wajib dikembalikan menjadi panglima yang pembentukannya harus kalis dari kepentingan dan penegakannya tidak boleh menguntungkan kelompok atau golongan tertentu. Pernyataan tersebut merupakan salah satu dari empat pernyataan sikap UII dalam merespons praktik berbangsa dan bernegara saat ini yang mempertontonkan secara telanjang kepada publik soal maraknya penyalahgunaan kekuasaan.

Fathul menilai politik kekuasaan yang abai terhadap kepentingan rakyat seakan kembali hadir sebagai panglima. Praktik berpolitik semakin jauh dari nilai-nilai kebajikan dan tidak lagi dibingkai sebagai sarana melayani kepentingan bangsa dan negara.

Baca Juga:

“Kondisi ini telah membawa Indonesia pada kemunduran demokrasi yang diindikasikan oleh banyak aspek, seperti penegakan hukum yang tidak konsisten, pemberantasan korupsi yang tebang pilih, dan kebebasan berekspresi yang semu,” kata Fathul.

Pakar di bidang ilmu teknologi informasi ini menegaskan bahwa praktik berbangsa dan bernegara saat ini telah menghadirkan perselingkuhan antarpenguasa yang melahirkan oligarki dan menumbuhsuburkan fenomena kolusi dan nepotisme. Akhirnya, rakyat hanya menjadi objek pelanggeng kekuasaan yang tidak dihargai martabatnya.

Pernyataan sikap yang kedua adalah mendesak negara untuk lebih serius memperjuangkan pemberantasan korupsi dengan membangun sistem pemerintahan yang bersih dan mengefektifkan penegakan hukum, termasuk salah satunya mengembalikan kesaktian Komisi Pemberantasan Korupsi dan membebaskannya dari segala intervensi yang melemahkan.

Ketiga, menuntut negara dan semua aparatnya untuk menjamin kebebasan berpendapat untuk menyampaikan aspirasi untuk mengingatkan penguasa ketika lupa dengan tugasnya atau keluar dari rel konstitusi. Fathul  menyebut pemerintah jangan sampai menjadi penjaga gerbang informasi yang mengelabui akal sehat publik.

Dan keempat, mengajak masyarakat untuk lebih cermat dalam merespons beragam informasi yang diterima, mengedepankan tabayun, tidak gampang diadu domba, dan tidak mudah terkecoh dengan muslihat politik yang mempermainkan emosi publik sehingga melupakan berpikir kritis.

“Demikian pernyataan sikap ini disusun sebagai wujud tanggung jawab moral anak bangsa,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait