Ketua ILFC Bicara Penyebab Tingginya Kasus KDRT Saat Pandemi
Berita

Ketua ILFC Bicara Penyebab Tingginya Kasus KDRT Saat Pandemi

Selain itu, UU Cipta Kerja dinilainya kurang memperhatikan posisi perempuan yang bekerja sebagai PRT dan buruh migran. Berbagai regulasi yang khusus untuk penyandang disabilitas, tapi pelaksanaannya dirasa belum optimal.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Foto: Hol
Foto: Hol

Seluruh masyarakat merasakan dampak pandemi Covid-19, terutama terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. LBH Apik mencatat dalam 3 tahun terakhir jumlah pengaduan yang masuk lebih dari 600. Tahun 2019, ada 794 pengaduan dan 249 pengaduan diantaranya merupakan KDRT; 130 pengaduan terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa; 125 pengaduan mengenai kasus perdata keluarga; 63 pengaduan tentang kekerasan dalam pacaran (KDP); dan 46 pengaduan terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Sementara itu, jumlah pengaduan yang diterima LBH Apik selama pandemi Covid-19 cenderung naik. Tercatat selama periode 16 Maret-30 Oktober 2020 telah diterima sebanyak 670 pengaduan. Pengaduan terbanyak terkait KDRT yang berjumlah 225 kasus; kekerasan secara daring 199 kasus; KDP 72 kasus; pelecehan seksual 43 kasus, dan pidana umum 41 kasus.

Ketua Indonesian Feminist Lawyer Club (IFLC), Nur Setia Alam Prawiranegara, mengingatkan penanganan kasus kelompok rentan, seperti anak, perempuan, dan penyandang disabilitas harus dibedakan dengan kasus umum. Dalam menangani kasus yang berkaitan dengan perempuan, IFLC kerap mendapat masukan dari Komnas Perempuan. ILFC juga menjalin kerja sama dengan institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan.

“Kami advokat yang berasal dari berbagai organisasi advokat berkumpul dalam ILFC mengedepankan kesetaraan gender. Anggota kita tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Intinya kita peduli terhadap kelompok rentan,” kata Nur Setia Alam Prawinegara saat berbincang melalui Live Instagram Hukumonline bertajuk “Refleksi Akhir Tahun 2020: Perempuan, Anak, dan Kaum Difabel di Masa Pandemi, Selasa (22/12/2020) kemarin. (Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Hambat Kemajuan Kebijakan Penyandang Disabilitas)

Perempuan yang akrab disapa Alam itu mengatakan salah satu penyebab tingginya KDRT di masa pandemi karena tidak siap menghadapi dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19. Misalnya, perempuan yang biasanya bekerja harus bekerja di rumah. Begitu pula suami dan anaknya, harus berkegiatan di rumah. Hal ini memicu munculnya persoalan, ditambah lagi jika pandemi berdampak signifikan terhadap ekonomi keluarga, misalnya PHK dan lainnya.  

Terkait UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Alam menilai beleid ini sebagai terobosan yang diinginkan pemerintah untuk penyederhanaan perizinan berusaha guna mendorong masuknya investasi. UU Cipta Kerja berdampak terdapat sejumlah UU yang bersinggungan dengan perempuan, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Tapi dalam UU Cipta Kerja Alam katanya tidak ada perubahan terkait hak cuti haid, melahirkan, dan menyusui. Beberapa hal yang berubah antara lain tentang upah, ketentuan ini butuh penjelasan lebih rinci dalam peraturan pelaksana,” kata dia.

Menurutnya, UU Cipta Kerja kurang memperhatikan posisi perempuan yang bekerja sebagai PRT dan buruh migran. “Tidak ada ketentuan khusus dalam UU Cipta Kerja yang menyoal tentang perempuan. Padahal saat ini dibutuhkan peraturan yang komprehensif mengatur perlindungan terhadap perempuan karena KUHP dirasa tidak cukup melindungi,” kata dia.  

Karena itu, dengan sejumlah lembaga dan organisasi, ILFC ikut mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Dia berharap RUU PKS bisa segera diterbitkan tahun 2021. “Kami dari pemerhati perempuan berharap semoga RUU PKS bisa segera disahkan,” pintanya.

Selain perempuan, Alam menekankan penyandang disabilitas juga harus mendapat perhatian lebih. Meski pemerintah sudah berupaya menerbitkan berbagai regulasi yang khusus untuk penyandang disabilitas, tapi pelaksanaannya dirasa belum optimal. Selain itu, berbagai peraturan yang diterbitkan sebagian besar hanya fokus pada disabilitas fisik. “Padahal penyandang disabilitas mental juga patut mendapat perhatian,” katanya.  

Tags:

Berita Terkait