Pemerintah telah menerbitkan sebuah regulasi yang mengatur tentang kekayaan intelektual. Aturan tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24/2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.
Salah satu aspek yang diatur dalam PP ini adalah membuka skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual adalah jenis kekayaan yang memuat kreasi tak mewujud dari intelektualitas. HKI memiliki banyak jenis, dan banyak negara mengakui keberadaannya. Contoh yang paling dikenal adalah hak cipta, paten, merek dagang, dan rahasia dagang.
Untuk mengetahui lebih jelas, Hukumonline menghubungi salah seorang yang terlibat aktif menyusun rancangan PP 24/2022 sekaligus Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi (2020-2022), Ari Juliano Gema. Dia menjelaskan pada dasarnya KI dapat dimanfaatkan sebagai objek jaminan fidusia dalam regulasi sebelumnya. Seperti yang diatur dalam ketentuan bahwa hak cipta dan paten, sebagai kekayaan intelektual (KI), dapat dijadikan obyek jaminan fidusia telah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
Baca Juga:
- MK Tolak Gugatan Uji Materi Aturan Ganja Medis Hingga Hukum Menagih Utang di Medsos
- Kini Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Utang, Pahami Syarat-syaratnya
- Pemerintah Berikan Insentif untuk Pelaku Ekonomi Kreatif
Hanya saja, penerapannya belum optimal khususnya respons industri jasa keuangan. “Namun, dalam praktiknya ketentuan tersebut mengalami kendala karena belum adanya pranata pendukung, seperti mekanisme penilaian/valuasi KI dan persyaratan teknis di lembaga keuangan,” ungkap Ari, Rabu (20/7).
Sehingga, PP No. 24/2022 tersebut mengatur skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang memuat pranata pendukung untuk memudahkan kekayaan intelektual dijadikan obyek jaminan utang. Dalam PP No. 24/2022 tersebut mengatur antara lain mengenai persyaratan pengajuan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual; bentuk-bentuk obyek jaminan utang berbasis kekayaan intelektual; serta profesi penilai kekayaan intelektual dan metode penilaiannya.
Ari menerangkan pelaku usaha ekonomi kreatif, untuk memperoleh pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, harus memiliki kekayaan intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di DJKI dan kekayaan intelektual tersebut sudah dikomersialisasikan. “Komersialisasi kekayaan intelektual tersebut dapat dilakukan sendiri, atau memberi izin kepada pihak lain untuk melakukan komersialisasinya, antara lain melalui lisensi, waralaba, atau perjanjian kemitraan lainnya,” jelas Ari.