Kisah Keimanan Para Calon Imam Katolik yang Membebaskan Terdakwa
Feature

Kisah Keimanan Para Calon Imam Katolik yang Membebaskan Terdakwa

Kredibilitas frater-frater yang merupakan calon-calon pemimpin/Imam umat Katolik dipertimbangkan hakim sebagai saksi-saksi yang bisa dipercaya berdasarkan Pasal 185 ayat (6) huruf d KUHAP.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit
Kisah Keimanan Para Calon Imam Katolik yang Membebaskan Terdakwa
Hukumonline

Ini bukan fiksi. Kisahnya adalah perkara nyata di Indonesia belum lama ini. Uraiannya tertuang dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2020/PN.Kpg. di Pengadilan Negeri (PN) Kupang. Bermula, sesosok jenazah laki-laki ditemukan terapung di Pantai Oesapa, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hari nahas itu adalah Selasa, 24 Juli 2018 kira-kira pukul 07.00 WITA.

Kulit ari telah mengelupas dari ujung kepala hingga kaki. Kuku tangan dan kaki membiru. Wajahnya tampak berwarna keunguan. Ada keriput di telapak tangan, punggung tangan, serta kaki sebagai tanda terendam air. Tubuhnya sudah membengkak sulit dikenali. Dokter Spesialis Forensik memastikan tanda-tanda pembusukan pada seluruh tubuh. Penyebab kematian korban adalah tenggelam.

Jenazah itu akhirnya berhasil diidentifikasi berusia 25 tahun, tinggi badannya 184 cm dengan bobot badan kira-kira 90 kg, warna kulit sawo matang. Ia pernah menjadi biarawan calon Imam Katolik, tapi dikeluarkan dari Biara. Statusnya masih mahasiswa. Penyidik dan Penuntut Umum yakin korban telah dibunuh. Diperkirakan pembunuhan terjadi di antara rentang waktu tanggal 21 Juli 2018 s.d. 23 Juli 2018.

Baca Juga:

Sebanyak 24 saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum diperiksa di bawah sumpah dalam persidangan, 2 di antara mereka adalah saksi dari Penyidik Kepolisian. Tercatat dalam surat dakwaan ada 3 saksi yang secara terpisah—tidak bersama-sama—memberatkan seseorang sebagai tersangka yang kemudian menjadi terdakwa. Dia adalah teman sekamar kos korban.

Fakta persidangan mengungkap keduanya sama-sama tanpa kejelasan alasan dikeluarkan dari Biara. Keduanya dikenal berhubungan baik selama tinggal di kamar yang sama. Keduanya berasal dari kampung halaman yang sama di Bajawa, Kabupaten Ngada, Pulau Flores. Ibu Kos mengetahui dan mengalami langsung bahwa terdakwa pamit pulang ke kampung halamannya di Bajawa, Kabupaten Ngada, Pulau Flores.

Posisi kampung halaman terdakwa berbeda pulau dengan tempat kejadian perkara di Kota Kupang, Pulau Timor. Secara geografis, jarak di antara keduanya hanya dapat ditempuh melalui jalur transportasi laut dengan waktu tempuh satu malam atau melalui jalur transportasi udara. Terdakwa berpamitan pada Ibu Kos pada tanggal 19 Juli 2018 kira-kira pukul 08.00 WITA karena sedang libur kuliah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait