Komnas HAM Ingatkan Perlindungan Saksi dan Korban Kasus Pelanggaran HAM Paniai
Terbaru

Komnas HAM Ingatkan Perlindungan Saksi dan Korban Kasus Pelanggaran HAM Paniai

Pasal 34 UU Pengadilan HAM memandatkan setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab. Foto: ADY
Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab. Foto: ADY

Proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Paniai akan masuk ke tahap persidangan. Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengingatkan salah satu hal yang penting diperhatikan dari proses penanganan kasus tersebut adalah perlindungan terhadap korban dan saksi. Menurutnya, perlindungan itu merupakan mandat UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.  

Amir menyebut Pasal 34 UU No.26 Tahun 2000 mengatur setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan itu wajib dilaksanakan aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Menurut Amir, ketika ketentuan itu terbit belum ada UU Perlindungan Saksi dan Korban, apalagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Oleh karena itu, Pasal 34 UU No.26 Tahun 2000 saat ini dapat dimaknai merupakan perintah untuk LPSK. “Banyak yang lupa pasal ini, sehingga abai terhadap perlindungan saksi dan korban (pelanggaran HAM berat, red). 3 Pengadilan HAM yang pernah digelar sebelumnya tidak maksimal melindungi saksi dan korban karena belum ada lembaganya,” kata Amiruddin dalam diskusi publik bertema “Pelindungan untuk Saksi di Pengadilan HAM Peristiwa Paniai”, Jum’at (19/8/2022) lalu.

Salah satu tantangan yang dihadapi dalam persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai nanti adalah tempat persidangan di Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi di Paniai, Papua. Konsekuensi dari perbedaan itu antara lain jarak yang jauh. Jika nanti hakim meminta untuk menghadirkan saksi di persidangan. maka siapa yang bertanggung jawab? Mengingat perlu biaya dan akomodasi untuk menghadirkan saksi dari Paniai ke Makassar.

Amiruddin mengatakan penting bagi saksi dan korban untuk tidak terbebani secara psikologis ketika menghadiri panggilan hakim. Misalnya soal biaya untuk menghadiri persidangan dan bagaimana agar dijamin keselamatannya. “Karena jalannya pengadilan ini adil atau tidak nanti tergantung dari kualitas kesaksian dan kehadiran saksi secara maksimal,” ujarnya.

Mantan Anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus aktivis HAM Munir Said Thalib itu mengatakan pengadilan HAM harus mampu memulihkan harkat dan martabat korban sebagai manusia. Oleh karena itu pengadilan HAM tak sekedar menjatuhkan vonis kepada pelaku, tapi memberikan pemulihan kepada korban.

Amiruddin mengingatkan kasus ini bukan kejahatan pidana biasa, tapi pelanggaran HAM berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengingat pengadilan HAM menangani kejahatan yang serius, maka dibutuhkan perlindungan saksi dan korban agar jalannya persidangan bisa berlangsung secara fair dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat manusia.

Terakhir, ia mengatakan tugas Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai seharusnya telah selesai karena prosesnya sudah masuk pengadilan. Tapi Komnas HAM berupaya untuk membuat warga negara dapat hidup dalam kondisi HAM yang kondusif. “Yakni harkat dan martabat setiap orang dihargai dengan baik. Jika mengalami kejahatan hak-haknya bisa dipulihkan,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait