Kompleksitas Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan QRIS dan Peran Bank Indonesia
Kolom

Kompleksitas Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan QRIS dan Peran Bank Indonesia

Perlu juga membuat peraturan yang mempermudah pelaku usaha pengguna QRIS sebagai salah satu sistem pembayaran untuk mendapatkan informasi tentang pelaku penyalahgunaan QRIS.

Bacaan 5 Menit
Benedictus S. Habonaran. Foto: Istimewa
Benedictus S. Habonaran. Foto: Istimewa

Kita sudah tidak asing lagi dengan istilah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai teknologi QR Code dalam pembayaran secara elektronik. QRIS adalah sistem integrasi dari berbagai macam QR Code yang dikeluarkan oleh berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). Regulasi yang mengatur QRIS antara lain Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No.21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code. Keberadaan QRIS mempermudah dalam melakukan setiap transaksi digital: cepat dan efisien serta terjaga keamanannya. Kemajuan teknologi ini tidak dapat dipungkiri memberikan kita segala kemudahan. Di sisi lain, tetap perlu berhati-hati dengan risiko yang ada.

Sebagai contoh, kasus yang belum lama ini terjadi yaitu pemalsuan QRIS oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan memahami kelemahan pihak yang menggunakan QRIS sebagai alat pembayaran. Seorang pria memalsukan barcode QRIS untuk kotak-kotak amal di beberapa masjid daerah Jakarta Selatan. Pemalsuan QRIS ini tertangkap kamera CCTV ketika pelaku melakukan aksinya di Masjid Nurul Iman Blok M Square.

Kasus serupa menimpa seorang ibu bernama Rani, seorang penjual jajanan street food corndog di Bekasi. Setelah setahun Rani baru menyadari pendapatan yang diperoleh dari hasil jualannya justru merugi. Penelusurannya menemukan ternyata ada seseorang yang menempelkan QRIS palsu pada gerobak usahanya, Sampai saat ini Rani belum mengetahui siapa pelaku yang menempelkan QRIS palsu tersebut. Rani hendak melaporkan kasus ini kepada pihak berwenang. Sayangnya Rani justru mengalami hambatan mengenai bukti. Rani tidak memiliki bukti permulaan yang cukup untuk mendapat tindak lanjut pihak berwenang.

Lazimnya, seseorang perlu memiliki bukti permulaan yang cukup untuk membuka laporan kepolisian seperti diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP”. Pasal 1 butir 14 KUHAP mengatur bahwa "Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Lamintang berpendapat secara praktis bukti permulaan yang cukup diartikan sebagai “bukti minimal”. Bukti minimal yang dimaksud adalah alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, sehingga saat dilakukan penangkapan itu tidak dilakukan sewenang-wenang akan tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul karena perbuatannya melakukan tindak pidana.

Ditinjau dari fungsinya, bukti permulaan yang cukup memiliki dua kategori yaitu sebagai prasyarat untuk:

  1. Melakukan penyidikan, yakni untuk menduga adanya suatu tindak pidana, sehingga dapat naik pada tahap selanjutnya yaitu tahap penyidikan
  2. Menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait