Konsekuensi Hukum Salah Transfer Dana bagi Penyelenggara dan Nasabah
Utama

Konsekuensi Hukum Salah Transfer Dana bagi Penyelenggara dan Nasabah

Ketika pengaksepan terjadi maka telah terjadi pengalihan hak. Dan jika penyelenggara terlambat memperbaiki kekeliruan maka bank harus membayar kompensasi kepada nasabah penerima.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Kekeliruan dalam transfer dana khususnya yang disebabkan oleh bank selaku penyelenggara memiliki konsekuensi hukum, baik kepada nasabah maupun pihak bank. Tak jarang kekeliruan semacam ini menimbulkan sengketa antara nasabah dan bank.

Mantan Hakim Agung M. Yahya Harahap menjelaskan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Jo Pasal 1 ayat (5), 1 ayat (6), 1 ayat (7) UU No 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, transfer dana berawal/dimulai dengan atau adanya perintah transfer dana tanpa syarat (unconditional) dari pengirim asal (originator) kepada penyelenggara asal. Tujuannya, untuk memindahkan sejumlah dana Pengirim Asal kepada penerima yang disebut Pengirim Asal dalam Perintah Transfer, sampai dana tersebut diterima oleh Penerima.

Selanjutnya Pasal 1 ayat (15) UU Transfer Dana, penyelenggara penerima yang menerima perintah transfer akan melakukan pengaksepan (acceptance), yakni “kegiatan” Penyelenggara Penerima yang menerima Perintah Transfer Dana dari Pengirim Asal, bahwa dia “menunjukkan persetujuan untuk melaksanakan atau memenuhi isi Perintah Transfer Dana yang diterimanya dari pengirim asal tersebut. Akibat hukum dari akseptasi atau pengaksepan dari perintah transfer dana tersebut adalah berlaku sebagai sebuah perjanjian yang sah dan mengikat.

Yahya melanjutkan pengaksepan transfer dana tidak dapat ditarik kembali secara sepihak selain dengan kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (15) 15 Jo Pasal 17 UU Transfer Dana mengatur bahwa apabila Penyelenggara Pengirim Asal telah melakukan pengaksepan, maka syarat-syarat akseptasi yang disebut dalam Pasal 15 ayat (1) UU Transfer Dana telah terpenuhi.

Hal ini juga berarti Penyelenggara Pengirim tidak menolak pengaksepan untuk melaksanakan transfer dan penyerahan dana tersebut kepada Penerima, sekaligus terbentuknya persetujuan/perjanjian transfer dana antara pengirim asal dengan penyelenggara pengirim. (Baca: Begini Masukan YLKI Terkait Perlindungan Konsumen pada Kasus Salah Transfer Dana)

Oleh karena itu, lanjut Yahya, terhitung sejak tanggal pengaksepan yang dilakukan oleh Penyelenggara Pengirim atas Perintah Pengirim itu, maka berlalih dengan sendirinya menurut hukum atau “ipso jure” hak atas jumlah dana yang ditransfer itu dari tangan Pengirim Asal kepada Penyelenggara Pengirim”.

Apabila Dana hasil transfer telah diterima oleh Penerima atau Penyelenggara Penerima Akhir maka menurut Pasal 40 UU Transfer Dana berakhir proses transfer dana. Sehingga menurut hukum dana tersebut jatuh dan beralih penuh menjadi hak penerima. Bahkan menurut Penjelasan Pasal 3 huruf b ayat (3) UU Transfer Dana, dana dari Perintah Transfer Dana yang telah diterima Penyelenggara Penerima yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit, dana tersebut menjadi hak penerima, yang penyelesaiannya dilakukan oleh tim likuidasi atau kurator Penyelenggara Penerima.

Menurut Yahya, jika penyelenggara penerima akhir telah melakukan pengaksepan transfer dana maka telah terjadi pengalihan hak dana dari pengirim kepada penerima. Merujuk pada Pasal 11 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No. 14 Tahun 2012 tentang Transfer Dana, kekeliruan yang dilakukan oleh penyelenggara pengirim maupun penyelenggara penerima wajib diperbaiki dalam waktu 1x24 jam setelah diketahui terjadinya transfer dana atau 2x24 jam sejak salah transfer terjadi.

Jika penyelenggara belum melakukan kekeliruan transfer dana lewat batas waktu yang ditentukan, maka dana beralih menjadi hak nasabah penerima. Berdasarkan Pasal 56 ayat (2) penyelenggara wajib membayar kompensasi kepada nasabah penerima.

“Jika nasabah langsung mempertanyakan (asal dana) menurut yurisprudensi adalah orang yang beriktikad baik, maka dia harus dilindungi sebagai orang yang beriktikad baik. Keterlambatan pembatalan dan perbaikan yang dilakukan penyelenggara bisa penerima anggap sebagai hak dan boleh saja kalau mau mengembalikan. Tapi tidak ada kewajiban secara hukum untuk mengembalikan,” kata Yahya dalam sebuah webinar, Sabtu (11/12).

Ahli Risk Management perbankan dan asuransi Batara Maju Simatupang menegaskan bahwa setiap nasabah atau konsumen sah menerima pembayaran dari luar negeri atau dari manapun. Jika terjadi salah transfer bank wajib memberitahukan kepada nasabah penerima dalam waktu 90 hari sebagaimana diatur dalam PBI No 14/2012.

"Dalam hal komplain tidak mendapatkan kejelasan, atau katakan tidak menemukan kesalahan dan telah melampaui kadaluarsa dalam pelaporan selama 90 hari, berarti orang yang bersangkutan yang menerima uang dari pengiriman, dari katakanlah dari luar negeri atau dari manapun itu, yang bersangkutan sah sebagai pemilik dana karena instruksi pembayaran sudah keluar dari yang memberikan perintah pembayaran, telah mengkreditkan rekeningnya, dan itu sah selama tidak ada bantahan dalam waktu 90 hari," tambahnya.

Penjelasan ini sekaligus menjadi dasar bagi setiap konsumen atau nasabah bank yang telah beriktikad baik menyampaikan pelaporan kepada pihak bank atas transfer dana yang diterima namun tidak diketahui darimana asalnya, sepanjang telah melampaui masa kadaluarsa selama 90 hari.

Koordinator Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, menyebut soal ramainya kabar nasabah atau konsumen yang menerima transfer dana yang berujung pidana di pengadilan. Padahal, lanjutnya, setiap konsumen yang menjadi nasabah bank memiliki hak konsumen yakni hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur juga jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pelaku penyedia jasa keuangan.

"Ada dana yang masuk ke konsumen atau nasabah dan tidak diketahui dana dari mana, konsumen sudah menyampaikan kepada pelaku usaha bahwa menerima transfer, ini merupakan wujud iktikad baik konsumen" ungkapnya.

Menurut Sularsi, menjadi kewajiban penyedia jasa untuk menjelaskan kepada konsumen dana tersebut berasal dari mana. Sehingga, dalam keadaan ini konsumen tidak patut dipersalahkan selama ada bukti telah melakukan proses pelaporan kepada penyedia jasa sebagai bentuk iktikad baik.

Adapun menurut Adhe Adhari, Direktur Institut Diponegoro Center Of Criminal Law, sanksi pidana dalam UU Transfer Dana adalah bersifat ultimum remidium. "Karena UU ini core nya adalah UU bisnis, bukan UU pidana. Ketika ada sanksi pidana, maka pemberlakuannya harus diterapkan secara subsider berdasarkan asas 'The Subsidiarity of Penal Law',” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait