‘Perempuan bukan sebagai pemimpin keluarga, tak terbebani kewajiban menafkahi keluarga, hanya berperan di ranah domestik (urusan rumah tangga) saja, sehingga tak dianggap sebagai ahli waris dan tak berhak mendapatkan warisan’. Pemikiran yang demikian (patriarki), nyatanya masih ada dan dianut dalam hukum adat (customary law) yang berlaku di beberapa suku di Indonesia.
Sehingga bila ditelusuri, tak satu dua ditemukan kasus di mana perempuan di suatu wilayah adat memperjuangkan hak waris mereka secara negara lantaran hak kewarisan mereka tak diakui secara adat. Mahkamah Agung sendiri tampak dalam beberapa putusannya cukup konsisten dalam menjatuhkan sikap.
Dilemanya, filosofi Bhineka Tunggal Ika menjunjung tinggi penghormatan terhadap hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adat. Hukum adat dan masyarakatnya bahkan kerap diibaratkan dalam satu jiwa dan raga, yakni manunggal, sehingga sudah sepatutnya hukum negara menghormati keberlakuan hukum adat.
Namun bagaimana jika hukum adat yang berlaku nyatanya bertabrakan dengan nilai-nilai keadilan sosial yang diperjuangkan dan diakui secara universal? Manakah yang akan menang? Hukum adat atau hukum negara? Contoh yang lekat dengan tulisan ini, hak waris perempuan keturunan wilayah adat patrilineal.