Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar
Utama

Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar

Perbedaan putusan MK diperbolehkan sepanjang memiliki alasan yang rasional, bukan hanya berdasarkan keyakinan seorang hakim semata.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Hanya saja, dia mengakui perbedaan putusan MK tahun 2006 dan 2018 ini memang cukup menarik (secara akademis) untuk dibahas. Sebab, selain “jenis kelamin” KPK dipertanyakan (eksekutif atau yudikatif), kedua putusan tersebut bisa membuat bingung majelis MK berikutnya ketika menguji kasus serupa. Nantinya, apakah akan mengikuti putusan MK pada 2006 atau 2008?

 

“Karena itu, MK tidak hanya menyelesaikan sengketa, tapi melengkapi kenapa itu jadi rasionalitas. Nanti pokoknya diselesaikan, karena putusan itu nanti jadi panduan bagi (hakim) berikutnya, dia harus menjelaskan. Ya moga-moga hakim berikutnya bisa menata, kalau enggak menata bisa morat-marit, di situ pentingnnya hakim menguasai UUD, bukan pasalnya doang,” tutur Harjono.

 

Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006

Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017

Perihal Pasal 2 UU KPK Juncto Pasal 20 UU KPK;

Bahwa dalam perkembangan sistem ketatanegaraan saat ini, sebagaimana tercermin dalam ketentuan hukum tata negara positif di banyak negara, terutama sejak Abad ke-20, keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim. Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, antara lain, ditandai oleh diadopsinya pelembagaan komisikomisi negara yang di beberapa negara bahkan bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara

bahwa KPK dibentuk dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945

Perihal Pasal 3 UU KPK

Bahwa penegasan tentang independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru menjadi penting agar tidak terdapat keragu-raguan dalam diri pejabat KPK. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU KPK, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi terutama adalah aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dengan kata lain, pihak-pihak yang paling potensial untuk diselidiki, disidik, atau dituntut oleh KPK karena tindak pidana korupsi itu adalah pihak-pihak yang memegang atau melaksanakan kekuasaan negara.

KPK Ranah Eksekutif;

Dalam Konsiderans Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan     Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut sebagai UU KPK) dinyatakan: bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berpijak dari Konsiderans tersebut, yang dimaksud sebagai lembaga pemerintah yang dalam hal ini menangani perkara tindak pidana korupsi ialah Kepolisian dan Kejaksaan.

Hal ini dapat diketahui dengan mengingat bahwa tugas penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Kepolisian dan/atau Kejaksaan. Dengan demikian, dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara in casu Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami public distrust dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, dibentuklah KPK. Dalam konstruksi demikian, secara tugas dan fungsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif. Bahkan lebih lanjut, tugas utama KPK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ialah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam hal ini menjadi trigger mechanism bagi Kepolisian dan Kejaksaan.

Mengacu pada pendapat Saskia Lavrijssen, 2008, KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen, dari departemen eksekutif, akan tetapi sebenarnya “eksekutif”. Dalam pandangan Mahkamah, KPK sebenarnya merupakan lembaga di ranah eksekutif, yang melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK jelas bukan di ranah yudikatif, karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus perkara. KPK juga bukan badan legislatif, karena bukan organ pembentuk undang-undang.

Benar bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisinya yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

 

Dia melanjutkan dunia hukum dikenal istilah yurisprudensi, sehingga harus menghargai dan mengikuti putusan yang ada sebelumnya. Namun, menurut Harjono, hal itu bukan berarti perbedaan putusan tidak diperbolehkan.

 

“Kalau memang itu beda harus dijelaskan mana bedanya dengan yang dulu, harus diberi rasionalitas. Di negara common law, ada istilah yang artinya hakim membedakan dengan kasus sebelumnya. Apalagi pendekatannya juga beda, itu sah-sah saja. Cuma kemudian jangan dadakan, kalau tidak diikuti gimana, ada perubahan paradigma, ya silakan,” terang Harjono.

 

Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menegaskan perubahan putusan MK dari sebelumnya memang dibolehkan asalkan ada alasan rasional yang tepat dan tidak bisa hanya berdasarkan keyakinan seorang hakim semata. “Kalau kemudian dadakan gitu rasionalitasnya gimana, jangan-jangan dia enggak baca (putusan sebelumnya),” tegasnya.

 

Saat ditanya apakah putusan MK yang menempatkan KPK di ranah eksekutif tidak mempunyai alasan rasional yang jelas, Harjono mengamininya. “Saya kira begitulah timbul polemiknya,” tutup Harjono. Baca Juga: 54 Profesor Ini Mendesak Arief Mundur dari Jabatannya

Tags:

Berita Terkait