Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty
Kolom

Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty

​​​​​​​Tindakan Pemerintah Indonesia terhadap Ethiopian Airlines bukanlah tindakan pelanggaran, bahkan memiliki justifikasi dalam Hukum Internasional.

Bacaan 2 Menit

 

Paling utama ketentuan yang harus diperhatikan adalah kedaulatan negara di ruang udara yang bersifat complete dan exclusive. Pemberian izin atau otorisasi pada pesawat udara negara lain untuk melintasi wilayah ruang udara suatu negara merupakan penafsiran dari prinsip exclusive.  

 

Prinsip exclusive dalam kedaulatan negara di ruang udara dapat diartikan bahwa sifat kedaulatan di ruang udara adalah tertutup dan exclusive hanya negara di yang berada di bawah ruang udara tersebut yang memiliki kedaulatan penuh. Sehingga pemanfaatan lain ruang udara suatu negara oleh negara lain baik berupa pengangkutan atau penerbangan yang melintasi wilayahnya dapat diberikan hanya dengan izin atau otorisasi yang diberikan oleh negara kolong. Norma ini pun sebetulnya sudah terdapat secara tersirat dalam Pasal 5 Chicago Convention 1944.

 

Lebih lanjut, pasal lain yang juga harus diperhatikan dalam implementasi Pasal 5 ini adalah Pasal 12 dan 13 Chicago Convention 1944. Pasal 12 mengatur bahwa seluruh negara peserta konvensi sepakat untuk memastikan bahwa setiap pesawat udara sipil yang terbang melintasi atau melakukan manuver di atas suatu wilayah dan pesawat tersebut memiliki tanda kebangsaan pesawat harus mematuhi peraturan dan regulasi. Ketentuan dalam pasal ini memungkinkan bahwa setiap negara peserta untuk mengaturnya dalam regulasinya sesuai dengan kepentingan nasionalnya dengan memperhatikan ketentuan konvensi.

 

Sedangkan Pasal 13 Chicago Convention 1944 kembali menegaskan mengenai hukum dan regulasi yang dimiliki oleh suatu negara anggota khususnya yang terkait dengan kedatangan atau keberangkatan dari wilayah negara anggota, terkait awak kabin atau cargo seperti yang terkait dengan ketentuan masuk, clearance atau izin, imigrasi, paspor, pajak dan karantina harus dipatuhi oleh seluruh penumpang, awak kabin, cargo yang akan memasuki wilayah atau akan melakukan melakukan keberangkatan dari suatu negara peserta.

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal tersebut sangat dimungkinkan bahwa suatu negara peserta Chicago Convention 1944 memiliki ketentuan yang beragam khususnya mengenai non scheduled flight atas dasar penafsiran yang bersifat luas terhadap ketentuan Pasal 5 Chicago Convention 1944 sebagai bentuk implementasi kedaulatan suatu negara di atas ruang udara. Sehingga penafsiran tersebut memberikan batasan terhadap dilaksanakannya hak yang dimiliki oleh segala bentuk penerbangan yang memenuhi karakteristik non scheduled flights.

 

Bentuk regulasi tersebut dapat berupa dikeluarkannya surat izin atau flight clearance yang disyaratkan bagi seluruh pesawat carter atau penerbangan individual ataupun dapat berupa syarat untuk memberikan pre -flight notification. Sampai saat ini, praktik negara dimungkinkan untuk beragam dalam mengatur mengenai non scheduled flight, namun demikian tentu regulasi tersebut tetap mengacu pada prinsip utama dan tujuan utama dari implementasi konvensi.

 

Dengan adanya penafsiran terhadap Pasal 5 Convention Chicago 1944, praktik negara yang beragam memungkinkan adanya perbedaan praktik terhadap implementasi pasal ini. Namun demikian hal tersebut dimungkinkan atas dasar kedaulatan negara. Penafsiran sempit terhadap Pasal 5 ini yaitu justru akan memberikan kesan yang berbeda dan tidak sesuai dengan implementasi prinsip kedaulatan negara di ruang udara.

Tags:

Berita Terkait