KPA: Bank Tanah Berpotensi Legalkan Perampasan Tanah
Terbaru

KPA: Bank Tanah Berpotensi Legalkan Perampasan Tanah

Bank Tanah mengorientasikan tanah sebagai barang komoditas yang dapat diperjualbelikan dan dimonopoli oleh segelintir orang. Kondisi ini membuat ketimpangan, kemiskinan struktural dan konflik agraria yang menimpa petani, buruh tani, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, nelayan dan perempuan semakin meningkat.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY

Pemerintah telah menerbitkan beragam peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Sekalipun telah terbit putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 yang salah satu amar putusannya menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Tapi, pemerintah tetap menerbitkan peraturan baru terkait, salah satunya Perpres No.113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah. Padahal, konsep Bank Tanah sejak awal sudah diprotes kalangan organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan secara kelembagaan dan ketatanegaraan, Bank Tanah tidak memiliki kejelasan bentuk lembaga. Mulai dari produk hukum pembentukannya, struktur lembaga, kewenangan, fungsi dan tujuan yang mengikuti pasar.

“Bank Tanah mengancam terjadinya dan tersistematisnya legalisasi perampasan tanah,” kata Dewi Kartika ketika saat dikonfirmasi, Jumat (7/1/2022) lalu. (KPA: Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah)  

Dewi menjelaskan Pasal 26 PP No.64 Tahun 2021 menunjukkan Bank Tanah mengedepankan logika pasar dengan cara menentukan besaran tarif pemanfaatan tanah yang kompetitif. Bank Tanah mengorientasikan tanah sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dan dimonopoli segelintir orang. “Kewenangan dan fungsi Bank Tanah berpotensi besar untuk dimanfaatkan sebagai legalisasi perampasan tanah,” ujarnya.

Kondisi tersebut membuat ketimpangan, kemiskinan struktural dan konflik agraria yang menimpa petani, buruh tani, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, nelayan dan perempuan semakin meningkat. Peran negara yang seharusnya menjamin hak atas tanah kepada rakyat miskin sesuai dengan mandat konstitusi dan UU Pokok-Pokok Agraria, dikangkangi oleh Bank Tanah.

Bank Tanah dapat memicu konflik melalui ketentuan terkait hak pengelolaan (HPL). HPL merupakan mandat UU No.11 Tahun 2020 dan diatur secara spesifik pada PP No.18 Tahun 2021. HPL mengadopsi dan menghidupkan kembali asas domein verklaring (negarisasi tanah) dan tanah partikelir. Seolah tanah adalah milik negara, Bank Tanah menjalankan regulasi dan mandat negara, dapat mengakuisisi tanah-tanah masyarakat dan sumber-sumber agraria dengan prinsip domein verklaring yang telah dihapuskan UU Pokok-Pokok Agraria.

Melalui prinsip domein verklaring, tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap tidak ada penguasaan di atasnya dan menjadi tanah negara. Hasil penetapan tanah negara itu dijadikan HPL dan dimasukan sebagai sumber tanah bagi Bank Tanah. Menurut Dewi, hal tersebut melanggar konstitusi, UU Pokok-Pokok Agraria dan Putusan MK No.001-021-022/PUU-I/2003, Putusan MK No.002/PUU-I/2003, dan Putusan MK No.058-059-060-063/PUU-II/2004 terkait hak menguasai negara.

Lebih lanjut, Dewi menyebut Pasal 40 PP No.64 Tahun 2021 menempatkan Bank Tanah memiliki keistimewaan terkait kewenangan pemegang HPL. Pemanfaatan HPL atas nama Bank Tanah oleh pihak ketiga, dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah (HGU, HGB, HP) di atas HPL secara sekaligus setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan. Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah secara bersamaan melanggar Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007.

Dewi juga melihat ada ketentuan yang fatal dalam ketentuan Pasal 41 PP 64 Tahun 2021 yaitu HPL dengan hak masyarakat yang sudah mendiami tanah paling singkat 10 tahun. Apabila dilaksanakan secara formalistik/legalistik tanpa mengindahkan kajian komprehensif terkait aspek historis, sosial dan budaya penguasaan tanah oleh rakyat, maka “sesuai peraturan” rakyat dapat kehilangan hak atas tanahnya.

Secara tegas Dewi menyebut Bank Tanah tidak mengurai ketimpangan kepemilikan tanah dan konflik agrarian. Bahkan lebih parah karena mengangkangi reforma agraria. Bank Tanah ditujukan untuk memberi kemudahan dan menjamin ketersediaan tanah untuk investor dan pengusaha. Ironi karena kemudahan itu dilakukan di tengah mandeknya pemenuhan hak rakyat atas tanah melalui penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.

Menurut Dewi, Bank Tanah lebih dari sekedar administrasi pertanahan, lebih cocok disebut lembaga penjamin, alokasi, dan ketersediaan tanah bagi investasi. Pasal 19 jo Pasal 40 PP No.64 Tahun 2021 mengatur Bank Tanah wajib menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Bank Tanah melaksanakan fungsi publik (pembuat regulasi) dan privat (pembuat perjanjian).

“Dari seluruh analisa dan kondisi terkini kebijakan mengenai Bank Tanah semakin jelas jika badan baru ini dibentuk untuk menjadi lembaga business care,” bebernya.

Bank Tanah diposisikan seolah sebagai pelengkap kerja Kementerian ATR/BPN, tapi faktanya Bank Tanah punya kewenangan sebagai regulator dan eksekutor pengadaan tanah. Sekalipun reforma agraria masuk dalam tujuan dan fungsi Bank Tanah, tapi menurut Dewi ini sesat pikir. Reforma agraria merupakan upaya koreksi atas ketimpangan struktur pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah. Berbeda dengan Bank Tanah yang tujuannya mempercepat pengadaan tanah. Pemerintah melalui Bank Tanah menyamakan reforma agraria sebagai pengadaan tanah untuk pembangunan dan dijalankan dengan mekanisme mendapatkan keuntungan.

Meskipun Pasal 4 PP No.64 Tahun 2021 menyebut Bank Tanah bersifat transparan, akuntabel dan nonprofit, tapi Dewi melihat pasal lainnya malah mengatur sebaliknya. Misalnya, Pasal 14 mengatur Bank Tanah tidak memiliki kejelasan untuk kebutuhan atau kepentingan siapa, sehingga pemanfaatan tanah bersifat pragmatis. Pendistribusian tanah pada Pasal 15 tidak menjelaskan proses redistribusi yang akan berjalan. Konsep redistribusi masih kabur dan tidak spesifik sasarannya. Selain itu, jaminan ketersediaan tanah oleh Bank Tanah sebagaimana Pasal 16 sifatnya sangat luas dan minim evaluasi serta monitoring.

Menurut Dewi, Bank Tanah sangat efektif melayani kepentingan usaha dan investor agar cepat mendapatkan tanah meskipun telah dikuasai oleh petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan. Maka perlu keseimbangan penyediaan tanah atas nama kepentingan umum untuk pembangunan nasional yang berfokus pada ekonomi dan investasi dan tujuan lainnya.

Sebelumnnya Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Yogyakarta, Prof Maria SW Sumardjono, mengkritik keras Perpres No.113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah. Terbitnya Perpres tersebut melanggar putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020. “Terbitnya Perpres No.113 Tahun 2021 melanggar putusan MK khususnya poin ketujuh amar putusan,” tegasnya.

Poin ketujuh putusan tersebut menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020. “Perpres ini terang-terangan melanggar putusan MK,” tegasnya.

Menurut Prof Maria, Bank Tanah masuk dalam klaster Pengadaan Tanah sebagaimana pasal 4 UU No.11 Tahun 2020. Klaster pengadaan tanah itu masuk kategori kebijakan strategis Cipta Kerja sehingga tergolong kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas sebagaimana putusan MK. Sebagaimana poin ketujuh amar putusan MK kebijakan strategis dan berdampak luas itu harus ditangguhkan. Bahkan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Tags:

Berita Terkait