KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah
Kaleidoskop 2021

KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah

Mafia tanah tidak sesempit yang diberitakan pemerintah yang hanya terdiri dari penipu tunggal atau pemalsu dokumen, namun sindikat terorganisir yang banyak melibatkan pemangku kebijakan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY

Konflik agraria kerap terjadi sepanjang tahun 2021 dan banyak kasus yang berlarut-larut dari tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 207 konflik agraria di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa dan kota. Konflik itu melibatkan 198.895 keluarga (KK) dengan luas lahan setengah juta hektar.

Sekjen KPA Dewi Kartika, mengatakan konflik yang naik signifikan terkait dengan sektor pembangunan infrastruktur 73 persen dan pertambangan 167 persen. Jumlah korbannya juga meningkat dari 135.337 (2020) menjadi 198.859 (2021). Hal ini menunjukkan konflik agraria menyasar area pemukiman masyarakat, padat penduduk, dan wilayah dimana masyarakat menguasai, menggarap, dan mengelola tanah.

“Jika diakumulasi, selama dua tahun pandemi (2020-2021) telah terjadi 448 konflik agraria di 902 di desa dan kota di Indonesia. Bila dirata-rata, maka terjadi 18 konflik setiap bulannya,” kata Dewi dalam konferensi pers secara daring bertajuk “Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021 KPA”, Kamis (6/1/2022). (Baca Juga: Mengenali Modus Permainan Mafia Tanah)

Dalam konflik agraria itu, Dewi melihat banyak terdapat praktik mafia tanah. Bentuknya antara lain persekongkolan untuk melakukan manipulasi data lapangan, pemalsuan dokumen, ancaman, intimidasi, teror dan kekerasan, hingga penerbitan hak atas tanah secara sepihak dan bersifat tertutup.

Dia melihat respon pemerintah terhadap banyaknya laporan kasus mafia tanah, seperti pemadam kebakaran. Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN dan Polri membentuk Satgas Anti Mafia Tanah tahun 2017. Padahal praktik mafia tanah ini telah terjadi sejak lama yang intinya mereka mengakali aturan hukum pertanahan.

Kasus mafia tanah kembali muncul ke permukaan karena ramai diberitakan media karena korbannya adalah tokoh publik, dan keluarga pejabat. Sebaliknya, ketika kasus itu dialami petani, nelayan, masyarakat hukum adat (MHA) dan orang miskin respon pemerintah terhadap penuntasan kasus terkesan tiarap.

“Padahal apabila ditelaah lebih dalam, kasus-kasus yang sempat viral akhir-akhir ini dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana penipuan, pemalsuan dokumen, dan maladministrasi biasa,” lanjutnya.

Mafia tanah belakangan ini kerap dimaknai sebagai pemalsuan dokumen pertanahan. Kondisi itu membuat bias untuk mengungkap siapa sebenarnya mafia tanah. Untuk mengurai mafia tanah secara struktural, Dewi mengusulkan agar dibentuk pemetaan terlebih dulu aktor dan jaringannya, serta peran masing-masing aktor dan modus kerjanya sampai kelompok korbannya. Setelah itu dapat dilakukan pemetaan terhadap faktor yang menyuburkan praktik mafia tanah itu.

Dewi mencatat satgas Anti Mafia Tanah mengklaim telah menuntaskan 180 kasus mafia tanah. Tapi Dewi yakin itu hanya “secuil” puncak gunung es dari apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Penanganan yang dilakukan satgas sifatnya masih kasuistik, tebang pilih, cenderung bersifat “entertained” yakni hanya menunjukkan perburuan terhadap mafia tanah sedang berjalan. Padahal yang dilakukan tidak menyasar jaringan mafia yang sifatnya akut dan struktural. Serta tidak menyelesaikan sumber masalah yang membuat praktik mafia tanah tumbuh subur.

Dewi menjelaskan suburnya praktik mafia tanah disebabkan sedikitnya 5 hal. Pertama, iklim pembangunan di Indonesia masih bergantung pada investasi dan mengabdi pada pemilik modal. Kedua, sistem informasi pertanahan tertutup atau tidak transparan. Ketiga, konflik kepentingan yang erat antara pengusaha dan pejabat/pemerintah. Keempat, buruknya sistem administrasi pertanahan dan kehutanan. Kelima, lemahnya penegakan hukum dan pendekatan kasuistik dan tebang pilih.

“Kalau data HGU dibuka saja itu sudah bisa membuka tabir mafia tanah,” bebernya memberi contoh.

Bagi Dewi, kelima faktor itu menjadi penyebab maraknya praktik mafia tanah di Indonesia dan merupakan hasil dari bureau-pathology (patologi birokrasi) yakni manifestasi dari perilaku birokrat yang mengancam tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel, efektif, dan efisien. Serta dapat melumpuhkan sistem pemerintahan, sehingga masyarakat menjadi korban.

Relasi kuasa yang terjadi antara pebisnis, pemerintah daerah sampai pusat juga menjadi salah satu penghambat bagaimana hukum ditegakkan. Dewi melihat relasi kuasa menyebabkan banyak intervensi politik dalam kasus mafia tanah yang berujung penegakan tidak optimal, bahkan tebang pilih.

Rezim karpet merah bagi investasi dan pebisnis juga semakin memperkeruh kondisi pertanahan di Indonesia. Keberpihakan pemerintah terhadap investasi dan bisnis bukan saja semakin memperkokoh praktik politik klientalisme antara pebisnis dan pemangku kebijakan, tetapi juga menyulitkan masyarakat sipil dapat diakui haknya. Atas nama investasi yang diserukan menjadi kepentingan umum, pemerintah memangkas, mengkerdilkan, juga melawan amanat konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria.

Dewi berpendapat sindikat mafia tanah kelas kakap bisa bersembunyi dalam wadah Bank Tanah. Melalui lembaga ini mereka leluasa untuk menentukan tanah-tanah mana yang akan diberikan kepada pengusaha, bahkan untuk bisnisnya pejabat di dalam Bank Tanah. Mafia tanah sesungguhnya adalah setiap pejabat negara, pengusaha, aparat penegak hukum yang melakukan tindakan kolusi dan korupsi melalui pembentukan regulasi/hukum untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

“Artinya mafia tanah tidak sesempit yang diberitakan pemerintah yang hanya terdiri dari penipu tunggal atau pemalsu dokumen, namun sindikat terorganisir yang banyak melibatkan pemangku kebijakan,” kritik Dewi.

Sebelumnya, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herwati, mencatat ada sejumlah kasus pelanggaran hak untuk hidup selama tahun 2021 antara lain perampasan tanah, air, dan kekayaan alam serta lingkungan hidup. Kasus agraria dalam kurun waktu 2017-2021 jumlahnya meningkat dari 363 kasus (2017), naik menjadi 364 kasus (2019), dan 376 kasus (2021). Sayangnya penyelesaian kasus agraria itu tidak ada kemajuan.

Kasus agraria yang terjadi sepanjang 2021 berasal dari berbagai sektor yakni perkebunan, pertambangan, infrastruktur, pengadaan tanah untuk pembangunan dan proyek strategis nasional. Dalam menangani konflik agraria, Rakhma mengatakan pemerintah kerap meneruskan proses pemberian izin kepada perusahaan swasta, BUMN, juga TNI untuk terus beroperasi dan menguasai tanah masyarakat. Padahal ada protes masyarakat termasuk dari perempuan dan masyarakat adat.

Perampasan tanah rakyat kerap dilakukan atas nama pembangunan. Kekerasan dan kriminalisasi tujuannya bukan untuk penyelesaian, tapi membungkam dan memaksa rakyat tunduk pada modal dan negara atas nama investasi dan infrastruktur. Keterlibatan aparat hukum dalam penyelesaian konflik agraria terus dibiarkan, didukung, atau aparat justru bertindak atas nama negara.

“Tidak ada akuntabilitas negara dalam penyelesaian konflik agraria. Justru negara/pemerintah menjadi pelaku dalam konflik tersebut,” katanya

Tags:

Berita Terkait