KPA Ungkap 6 Masalah Kebijakan Food Estate
Utama

KPA Ungkap 6 Masalah Kebijakan Food Estate

Menimbulkan beragam masalah agraria di lapangan. Petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya seharusnya menjadi aktor utama agenda pembangunan, bukan menyandarkan kepada korporasi pangan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan ketahanan pangan, salah satunya melalui Food Estate atau lumbung pangan. Kebijakan ini merupakan rencana pengembangan terintegrasi antara pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan dengan tujuan sebagai penyedia cadangan pangan nasional dan antisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19.

Seperti dikutip laman ksp.go.id, (10/12/2021) lalu, program ini dirancang sebagai bentuk respon pemerintah terhadap laporan lembaga pangan PBB (FAO) untuk menyiapkan ketahanan pangan nasional sebagai antisipasi terhadap kemungkinan buruk dampak pandemi Covid-19. Lokasi program ini berada di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Selanjutnya, program ini juga akan menyasar daerah Papua, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Selatan.

Sebelumnya, dalam dalam pidato di Sidang Tahunan MPR pada 18 Agustus 2020 lalu, Presiden Jokowi mengatakan dalam memperkuat cadangan pangan nasional, pemerintah tengah membangun food estate di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Direncanakan berlanjut pembangunanya di sejumlah daerah lain. 

“Food estate sedang dibangun untuk memperkuat cadangan pangan nasional, bukan hanya di hulu, tetapi juga bergerak di hilir produk pangan industri,” ujarnya. (Baca Juga: Membentuk Food Estate, Bagaimana Nasib Badan Otorita Pangan Nasional)

Presiden menegaskan dalam memperkuat cadangan pangan menggunakan teknologi modern beserta pemanfaatan kecanggihan teknologi digital. Tak hanya bagi pasar domestik, namun juga pangsa pasar internasional. Program tersebut menjadi sinergi antara pemerintah, pelaku swasta, dan masyarakat sebagai pemilik lahan dan tenaga kerja.

Menanggapi kebijakan ini, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai kebijakan ini menimbulkan masalah agraria. Pemerintah tidak belajar dari gagalnya proyek serupa yakni Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di era pemerintahan Presiden SBY. Food Estate masuk dalam program strategis nasional (PSN) yang digagas Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam Perpres No.109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Food Estate diklaim menjaga keberlangsungan ketahanan pangan nasional. Dewi mencatat lebih dari Rp180 triliun dana APBN dialokasikan untuk mempercepat Food Estate di berbagai tempat. Pemerintah juga menetapkan target tanah seluas 3,99 juta hektar di 7 provinsi untuk pelaksanaan kebijakan ini mencakup Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.

Sejak masuk target percepatan pelaksanaan PSN tahun 2020 dengan nilai investasi dan luas tanah yang fantastis, Dewi melihat program ini belum memberikan hasil yang sepadan, apalagi memuaskan. Misalnya di Kalimantan Tengah mengalami penurunan produksi gabah dan berujung gagal panen. Bahkan, kebijakan Food Estate ini menimbulkan sedikitnya 5 masalah. (Baca Juga: KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah)

Pertama, menambah jumlah dan kompleksitas konflik agraria akibat perampasan tanah rakyat demi pengadaan tanah proyek Food Estate. Salah satu contoh pengalihan 2.051 hektar hutan adat Tombak Haminjon Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan menjadi areal Food Estate di Sumatera Utara.

Ketimbang menggusur wilayah adat dan tanah pertanian produktif, Dewi merekomendasikan pemerintah seharusnya mengambil tanah HGU yang terlantar. Dia mencatat banyak HGU dibiarkan terlantar dan masih tetap diklaim perusahaan negara maupun swasta dan tak kunjung ditertibkan pemerintah. Melansir data Kementerian ATR/BPN tanah HGU terlantar mencapai 1,19 juta hektar.

“Kenapa tanah HGU terlantar tidak menjadi sasaran Food Estate? Yang digusur malah wilayah adat dan tanah pertanian produktif yang sedang dituntut penyelesaian konfliknya oleh masyarakat,” kata Dewi Kartika ketika dikonfirmasi, Jumat (7/1/2022).

Kedua, meningkatkan potensi kerusakan lingkungan. Dewi melihat sebagian besar lokasi proyek Food Estate ini berada di lahan gambut (1,42 juta hektar). Dia mengingatkan program cetak sawah 1 juta hektar di atas lahan gambut yang digagas mantan Presiden Soeharto berujung gagal total dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Ekosistem gambut penting dipelihara guna mengantisipasi bencana kebakaran hutan dan lahan sebagaimana diatur dalam PP No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Food Estate dinilai berpotensi mengakibatkan deforestasi skala besar karena pengadaan tanah dilakukan dengan mengubah peruntukan kawasan hutan. Mekanisme itu diatur dalam PermenLHK No.24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Kebijakan ini semakin menunjukkan mudahnya peruntukkan hutan untuk PSN, tapi sulit untuk perlindungan hak atas tanah bagi petani, penggarap dan masyarakat hukum adat yang selama ini berkonflik dengan klaim kawasan hutan.

Ketiga, terjadinya proletarisasi petani dan hilangnya keluarga petani kecil. Dewi menyebut program ketahanan pangan ini menyandarkan produksi pangan dari hulu sampai hilir kepada korporasi pangan besar. Tercatat beberapa korporasi swasta besar siap berinvestasi di proyek Food Estate. Keterlibatan militer melalui Kementerian Pertahanan dalam mengelola dan mengeksekusi Food Estate, menurut Dewi menunjukkan pemerintah tidak memberi kepercayaan penuh kepada petani sebagai produsen pangan di Indonesia.

Keempat, militerisme pertanian dan pangan dalam Food Estate. Alih-alih memperkuat posisi, peran dan sistem pertanian rakyat yang lebih modern dan terlindungi sebagai penopang krisis pangan, Dewi melihat justru militerisme pertanian dan pangan yang dipilih dalam sistem Food Estate. Dewi menekankan profesionalisme militer bukan di bidang pertanian.

“Maret 2021, BPK menemukan ada 21 masalah pada program cetak sawah baru. Pengalaman cetak sawah itu harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah ketika ingin melibatkan militer dalam bidang pertanian.”

Kelima, sistem Food Estate menurut Dewi mirip sistem tanam paksa, sehingga dapat disimpulkan kebijakan ekonomi Indonesia telah kembali ke era kolonialisme. Perbandingan sistem Food Estate dengan sistem tanam paksa antara lain lahan tanam paksa dilakukan dengan perampasan tanah melalui Domein Verklaring, Food Estate lahannya diperoleh dengan cara merampas tanah melalui klaim PSN.

“Sistem tanam paksa digarap oleh budak (perbudakan petani), dan sistem Food Estate memaksa petani pemilik tanah menjadi buruh tani harian kontrak di lokasi Food Estate (proletarisasi petani),” bebernya.

Keenam, munculnya krisis pangan. Ketergantungan impor pangan yang melegitimasi agenda Food Estate merupakan dampak dari belum dijalankannya reforma agraria sejati. Pemerintah harus melakukan penataan ulang struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria yang lebih berkeadilan.

“Petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya harus menjadi aktor utama agenda pembangunan, bukan menyandarkan kepada korporasi pangan,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait