KPPU Investigasi Bisnis Pemurnian Bijih Nikel
Terbaru

KPPU Investigasi Bisnis Pemurnian Bijih Nikel

Adanya larangan ekspor bijih mentah nikel dan terbatasnya jumlah pabrik pemurnian mineral diduga membuat perusahaan smelter memiliki posisi dominan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidikan inisiatif terkait bisnis pemurnian bijih nikel. Direktur Penindakan KPPU Gropera Panggabean mengatakan bahwa pihaknya telah cukup lama mengamati industri nikel, khususnya atas struktur industri maupun kebijakan yang ada.

“Memang isunya adalah pertama kondisinya ada kebijakan pemerintah yang mengeluarkan larangan ekspor bijih nikel mentah, dan ada add value di proses pemurnian nikel itu sendiri. Sebelumnya ekspor bijih mentah diperbolehkan sekarang dilarang lewat PP,” kata Gropera dalam konferensi pers daring, Jumat (12/11). 

Larangan ekspor bijih mentah nikel diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara. Akibatnya seluruh perusahaan tambang yang bergerak pada ekspor nikel wajib melakukan pemurnian melalui smelter di dalam negeri.

Namun dengan terbatasnya jumlah pabrik smelter di Indonesia, jumlah demand pemurnian bijih nikel menjadi meningkat. Perusahaan tambang tidak memiliki pilihan selain melakukan pemurnian bijih nikel yang membuat perusahaan smelter memiliki kekuatan pasar.

Dari proses pemurnian bijih nikel, KPPU menemukan terjadinya perbedaan hasil verifikasi kadar nikel antara surveyor perusahaan tambang dengan surveyor smelter. Hal ini yang telah menjadi perhatian KPPU dan masih dalam proses penelitian perkara inisiatif guna mengidentifikasi fokus pelanggaran persaingan usahanya. Selama proses penelitian, Gropera menyebut bahwa KPPU telah memanggil dan berdiskusi dengan berbagai pihak, seperti Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Kementerian Perindustrian serta pihak terkait lainnya.

“Harga daripada bijih nikel itu dipengaruhi kadar konsentrat yang ada di bijih nikel yang dijual perusahaan tambang. Jadi dalam jual beli antara perusahaan penambang bijih nikel dan perusahaan smelter, ada dua proses pengujian kadar pertama saat akan diangkut muat yang pengujian dilakukan oleh surveyor penambang, dan kedua saat bongkar di Pelabuhan yang kadar nikel diuji oleh surveyor perusahaan untuk melakukan analisa sampling guna menguji berapa kadarnya,” jelas Gropera.

Berdasarkan informasi yang diperoleh KPPU, terdapat perbedaan kadar yang cukup signifikan antara pihak surveyor perusahaan tambang dan surveyor perusahaan smelter. Hasil kadar yang digunakan adalah milik surveyor perusahaan smelter yang nilainya jauh lebih rendah, dan ini mempengaruhi harga nikel yang diperoleh perusahaan tambang.

Gropera menilai larangan ekspor bijih mentah nikel membuat posisi perusahaan tambang nikel tidak kuat jika dibanding perusahaan smelter. Perilaku ini yang kemudian diperhatikan oleh KPPU, dimana terdapat kecurigaan adanya kekuatan yang dimiliki perusahaan smelter untuk menekan harga beli bijih nikel dari perusahaan penambang. Selain itu KPPU juga menemukan fakta bahwa beberapa pabrik smelter menggunakan satu surveyor yang sama.

“Posisi mereka (perusahaan penambang) cukup sulit karena mereka tidak punya pilihan untuk menjual bijih nikel selain perusahaan yang ada di Indonesia. Nanti kita akan pelajari tindakan-tindakan perusahaan smelter, ada satu surveyor yang banyak digunakan oleh perusahaan smelter yang memiliki selisih kadar yang cukup tinggi. Namun dari informasi awal bahwa memang ada perbedaan metode analisis yang digunakan oleh surveyor penambang dan surveyor smelter,” tegasnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara. Permen ini ditandatangan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Senin (13/4) lalu.

Permen 11 Tahun 2020 ini merupakan perubahan ketiga dari Permen 7 Tahun 2017 yang juga mengatur hal yang sama. Salah satu ketentuan yang menarik dari Permen ini adalah mengenai kewajiban bagi smelter untuk membeli bijih nikel sesuai Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu hal ini menjadi perhatian menyusul kebijakan pemerintah memoratorium ekspor nikel. Penambang nikel mengeluhkan perusahaan smelter yang hanya ingin membeli bijih nikel di bawah HPM.

Pasal 2A angka (3) Permen 11 Tahun 2020 mengatur, “Pihak lain yang melakukan pemurnian bijih nikel yang berasal dari pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam wajib melakukan pembelian bijih nikel dengan mengacu pada HPM Logam”.

HPM logam ini merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang Izin Usaha Produksi (IUP) Operasi Produksi Mineral Logam dan Izin Usaha Operasi Khusus (IUPK) Operasi Produksi Mineral Logam, dan acuan harga penjualan bagi pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam untuk penjualan bijih nikel.

Kewajiban bagi smelter untuk membeli bijih nikel sesuai HPM ini, disertai juga dengan kewajiban bagi para pemegang IUP OP Mineral Logam dan IUPK OP Mineral Logam yang memproduksi bijih nikel untuk mengacu pada HPM logam pada saat melakukan penjualan bijih nikel yang diproduksi. Kewajiban yang sama juga dikenakan bila IUP OP dan IUPK OP menjual ke perusahaan afiliasinya.

“Kewajiban untuk mengacu pada HPM Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam dalam menjual bijih nikel yang diproduksi kepada Afiliasinya,” bunyi Pasal 2A angka (2).

Menurut beleid ini, HPM logam dan harga patokan bawah (HPB) akan ditetapkan dengan mempertimbangkan mekanisme pasar dan/atau sesuai dengan harga yang berlaku umum di pasar internasional; peningkatan nilai tambah mineral atau batubara di dalam negeri; dan/atau pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik.

Tags:

Berita Terkait