LBH Jakarta Sampaikan Catatan Negatif untuk 4 Tahun Gubernur Anies
Terbaru

LBH Jakarta Sampaikan Catatan Negatif untuk 4 Tahun Gubernur Anies

Mulai persoalan kualitas udara; air bersih; banjir; penataan banjir; bantuan hukum; tempat tinggal; pesisir dan pulau-pulau kecil; penanganan pandemi; penggusuran paksa; hingga reklamasi.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit

Keempat, penataan kampung yang belum partisipatif. Arif menjelaskan Community Action Plan (CAP) merupakan rencana aksi penataan Kampung Kota dengan pendekatan partisipasi Warga. Rencana aksi ini merupakan salah satu dari 23 janji kampanye Anies saat menjadi kontestan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam. Salah satu contoh penerapan penataan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan CAP adalah Kampung Akuarium, tapi dalam penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium. 

Kelima, Pemprov DKI Jakarta tidak serius memperluas akses terhadap bantuan hukum. Hal ini dapat dilihat dengan kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah di DKI Jakarta. Kekosongan aturan inilah melahirkan berbagai dampak, seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum.

Keenam, warga Jakarta masih sulit memiliki tempat tinggal. Tempat tinggal sebagai hak dan kebutuhan dasar setiap manusia, seperti tidak berlaku di Jakarta. Arif mencatat pada awal masa kepemimpinannya, Anies menerbitkan kebijakan penyelenggaraan rumah uang muka atau DP 0 persen. Kebijakan itu targetnya membangun sebanyak 232.214 unit tempat tinggal, kemudian dipangkas menjadi 10 ribu unit.

Penyelenggaraan rumah DP 0 persen pada awalnya diperuntukan kepada warga berpenghasilan strata pendapatan Rp 4-7 juta, kemudian diubah menjadi strata pendapatan 14 juta. “Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye,” tegas Arif.

Ketujuh, belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menuntaskan masalah yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Arif menekankan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.

Arif berpendapat dalam menetapkan kebijakan untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil warga harus diposisikan sebagai aktor utama. Tapi sayangnya draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov DKI justru memuat ketentuan yang berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem, perampasan ruang hidup, dan penghidupan masyarakat.

Kedelapan, penanganan pandemi yang masih setengah hati. Seperti diketahui, wilayah DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19. Untuk itu, diperlukan bentuk penanganan yang tepat guna dan tepat sasaran. Ironisnya, capaian 3T Pemprov DKI justru masih rendah di masa krisis. Pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait