Lepas dari Dakwaan Menghasut Karena Perubahan Zaman
Edsus Akhir Tahun 2014

Lepas dari Dakwaan Menghasut Karena Perubahan Zaman

UU bukan satu-satunya sumber hukum yang paling penting, namun masih ada sumber lain yang lebih penting dalam menyelesaikan masalah.

FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Tak selamanya dakwaan menghasut berujung ke pidana. Setidaknya, hal ini yang dialami Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI) Muchtar Pakpahan pada tahun 1993 dan 1994. Saat itu, Muchtar harus duduk di kursi pesakitan karena didakwa telah menghasut para pekerja atau para pengurus DPC SBSI Medan untuk melakukan unjuk rasa hingga berujung ke perusakan.

Perbuatan Muchtar tersebut terjadi medio Januari 1993 hingga April 1994. Saat itu, Muchtar melakukan serangkaian pertemuan dengan para pekerja di Medan dan menyiarkan, mempertunjukkan atau menampilkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan.

Ada sejumlah tuntutan yang disiarkan Muchtar. Pertama, kebebasan berserikat bagi seluruh buruh dengan mencabut Peraturan Menteri No.PER.01/MEN/1994 tertanggal 17 Januari 1994, yang menyatakan SPSI satu-satunya organisasi pekerja di tingkat perusahaan maupun nasional. Tuntutan lain adalah upah minimum hidup layak sebesar Rp173.500 per bulan atau Rp7000 per hari untuk seorang lajang. Lalu, menyatakan SBSI telah memenuhi undang-undang. Harapannya, seluruh tuntutan tersebut diberlakukan mulai 1 April 2014.

Serangkaian perbuatan Muchtar tersebut dijerat dalam dakwaan kesatu Pasal 160 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan dakwaan kedua dijerat Pasal 161 Ayat (1) KUHP. Atas dakwaan tersebut, penuntut umum menuntut agar Muchtar dipidana penjara selama empat tahun dan dinyatakan bersalah atas kedua dakwaan yang didakwakan.

Pengadilan Negeri Medan pada 7 November 1994 menjatuhkan putusannya. Putusan dengan Nomor 996/Pid.B/1994/PN.Mdn, memutuskan bahwa Muchtar bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu dan kedua. Atas hal itu, Muchtar dihukum dengan hukuman penjara selama tiga tahun.

Begitu juga di Pengadilan Tinggi Medan. Di tingkat banding, Putusan PN Medan diperkuat, bahkan hukuman terhadap Muchtar ditambah menjadi empat tahun penjara. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut tertanggal 16 Januari 1995 dengan Nomor 188/Pid/1994/PT.Mdn.

Muchtar yang juga berlatarbelakang advokat tak terima begitu saja dengan putusan tersebut. Pada tanggal 3 Februari 1995, Muchtar mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA). Di tingkat kasasi ini “Dewi Fortuna” menghampiri Muchtar. Pada tanggal 27 September 1995, Ketua Sidang Kasasi, Adi Andojo Soetjipto dan dua Hakim Anggota, Karlinah Palmini Achmad Soebroto serta Tomy Boestomi mengabulkan permohonan kasasi Muchtar.

Majelis Kasasi tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 16 Januari 1995 Nomor 188/Pid/1994/PT.Mdn dan putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 7 November 1994 Nomor 996/Pid.B/1994/PN.Mdn. Muchtar pun dibebaskan dari semua dakwaan dan dipulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Dalam pertimbangannya, MA berpendapat bahwa pertimbangan judex factie harus dibatalkan karena telah salah menafsirkan unsur menghasut dalam KUHP. Bahwa dengan perubahan zaman, baik dalam tatanan kehidupan sosial politik yang turut berubah, hakim seharusnya menafsirkan undang-undang dengan mengikuti perubahan tersebut.

Menurut MA, undang-undang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum yang paling penting, namun masih ada sumber lain yang lebih penting lagi dalam menyelesaikan masalah. Dalam perkara ini, yang menjadi titik sentral dalam penafsiran bukan sistem undang-undang, tetapi masalah atau problem sosial yang harus diselesaikan.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kesejahteraan rakyat sebagai hasil pembangunan di bidang ekonomi, globalisasi dan keterbukaan berdampak pada proses pembangunan demokrasi yang lebih berkualitas. Atas dasar itu, berdasarkan uraian perkara ini, MA berpendapat bahwa tindakan Muchtar tidak bisa dikatakan sebagai menghasut. Apalagi, di era usaha pemberdayaan peran dan fungsi organisasi sosial politik sedang giat-giatnya dilakukan.

Bukan hanya itu, unjuk rasa di Medan yang berujung menimbulkan korban jiwa adalah di luar tanggung jawab Muchtar. Serangkaian pertimbangan ini pula yang membuat MA menyatakan bahwa Muchtar tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang disebut dalam dakwaan kesatu dan kedua. Atas dasar itu, Muchtar dibebaskan dari semua dakwaan tersebut. MA menilai, putusan Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri terhadap Muchtar harus dibatalkan.

Putusan MA atas perkara ini dipandang progresif oleh kalangan penganut aliran hukum progresif karena beberapa hal. Pertama, majelis kasasi dinilai telah menggunakan penafsiran sosiologis/teleologis. Kedua, majelis hakim memiliki 'keberanian' untuk menyimpangi makna asli dari unsur 'menghasut' sebagaimana diatur dalam KUHP.
Tags:

Berita Terkait