Lesson Learned Dari Kasus Johnny Depp Melawan Amber Heard
Kolom

Lesson Learned Dari Kasus Johnny Depp Melawan Amber Heard

Sistem peradilan yang menggunakan sistem juri maka bagian yang paling penting bukan pembuktian secara dogmatika hukum dan normatif, tetapi pembuktian berdasarkan logika keadilan yang runut dan dapat diterima akal sehat masyarakat.

Lesson Learned Dari Kasus Johnny Depp Melawan Amber Heard
Hukumonline

Selama persidangan Johnny Depp melawan Amber Heard, saya kerap mendapat pertanyaan mulai dari rekan media, advokat hingga mahasiswa mengenai prediksi ujung kasus ini, dan setelah Johnny Depp dinyatakan menang dalam kasus ini, pertanyaan berikutnya yang kerap menghampiri saya adalah mengapa Amber Heard dinyatakan kalah?

Dari persidangan yang berlangsung selama 6 minggu di Fairfax Virginia Amerika Serikat tersebut, Amber Heard diputuskan bersalah melakukan pencemaran nama baik dengan penerbitan artikel yang ditulisnya di The Washington Post pada tahun 2018. Hasil dari persidangan tersebut adalah Johnny Depp mendapatkan ganti rugi USD15 juta dari Amber Heard, atau sekitar Rp218 miliar. Jumlah ini mencakup ganti rugi USD10 juta atau Rp145 miliar dan ganti rugi tambahan USD5 juta atau Rp72,6 miliar.

Preseden kasus sebelumnya, di mana Johnny Depp kalah di persidangan di Inggris atas tuntutannya pada tabloid 'The Sun' membuat banyak pihak bertanya-tanya kenapa Amber Heard bisa kalah dalam persidangan kali ini. Sebagaimana diketahui baik Inggris ataupun Amerika Serikat menggunakan sistem hukum Common Law atau biasa dikenal juga dengan sistem hukum Anglo Saxon yang menganut asas peradilan yakni ‘the binding force of precedent, et queta non movere’ yang artinya adalah keputusan hakim pada perkara sebelumnya yang sejenis mengikat hakim berikutnya pada perkara sejenis berikutnya.

Hal yang mendasar perbedaan sistem peradilan di negara dengan sistem hukum Common Law atau biasa dikenal juga dengan sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Inggris dan negara dengan sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) seperti Indonesia maupun Belanda adalah pada mekanisme hakim dalam mengambil keputusan. Pada negara dengan sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) pengambilan keputusan oleh hakim didasarkan pada bukti dan fakta di persidangan yang langsung dinilai validitas dan terpenuhinya unsur pasal yang dimaksud oleh hakim itu sendiri karena titik berat peradilan ada pada kepastian hukum sehingga hakim kerap dikatakan sebagai corong undang-undang.

Baca juga:

Asas peradilan yang mendasarinya (peradilan Civil Law) adalah ‘the persuasive force of precedent’ yang artinya putusan hakim sebelumnya dapat memberi pedoman pada hakim selanjutnya pada perkara sejenis sehingga dikenal dengan nama yurisprudensi dan yurisprudensi tidaklah mengikat hakim dalam mengambil keputusan. Sebaliknya pada sistem hukum Common Law (Anglo Saxon) karena titik berat peradilan adalah rasa keadilan di dalam masyarakat sehingga dalam pengambilan keputusan oleh hakim menggunakan keputusan juri.

Mantan hakim agung Amerika Serikat yakni Ruth B Ginder (2011), menjelaskan bahwa juri dipilih bukan dari para pakar hukum tetapi juri dipilih dari masyarakat awam yang memiliki relevansi situasi dengan pihak yang bersengketa tujuannya adalah agar dapat memberi referensi bagi hakim pada putusan yang menggambarkan keadilan di tengah masyarakat. Artinya dalam sistem hukum di peradilan Common Law (Anglo Saxon Model) maka putusan hakim akan sangat dipengaruhi oleh putusan juri.

Tags:

Berita Terkait